Kontes Waria Penghinaan Untuk Aceh!

Share

NUKILAN.id | Indepth – Dia mengenakan selempang bertuliskan Aceh, pakaianya kekurangan kain, di bagian atas terbuka. Nama Aceh negeri bersyariat dibawa-bawa. Publik dibuatnya geger.

Kecaman terhadap kegiatan transgender wanita-pria ini datang bukan hanya dari Aceh, namun  bermunculan dari seluruh Pertiwi, terutama kalangan ulama dan mereka yang masih memegang teguh budaya timur yang santun dan berahlak.

Kontes waria, kontes kecantikan yang berlangsung di Hotel Orchardz, Jakarta Pusat (Jakpus), menuai kontroversi hingga banyak dikecam oleh warganet. Pihak kepolisian juga turun tangan, akan menyelidiki lebih dalam atas kontes menghebohkan ini.

Bagaimana hingar bingarnya akibat kontes waria ini, Nukilan merangkum reaksi anak negeri atas kegiatan 4 Agustus 2024, dimana pihak hotel tempat terselenggaranya kegiatan mengakui pihaknya tidak tahu atas kegiatan tersebut.

Bagaimana kisahnya dan reaksi publik dalam menanggapi aksi yang menghebohkan ini? Awalnya beredar sebuah video yang memperlihatkan acara kontes kecantikan transgender wanita-pria atau waria, di sebuah hotel kawasan Jakarta Pusat, viral di media sosial.

Dalam video yang beredar, terlihat sejumlah kontestan yang diduga transgender tampak berlenggang di panggung selayaknya tampil dalam sebuah ajang kecantikan. Para kontestan itu juga tampak memakai selempang yang bertuliskan asal daerah mereka.

Terlihat juga seorang pemenang dari ajang kontes itu, di bahunya ada selempang bertuliskan daerah asalnmya, Aceh. Pemenang diberikan selempang dan mahkota bertuliskan ‘winner’.

Spontan kegiatan itu menuai protes, rakyat Aceh bagaikan kena sambaran petir di siang bolong. Memberikan kecaman keras, aksi protes itu bukan hanya datang dari Aceh, namun seantaro negeri menyuarakan, khususnya para ulama dan mereka yang perhatian terhadap kesantuan budaya.

Kecaman

Rakyat Aceh dan pemerintah Aceh sangat keberatan atas kontes tersebut yang membawa nama Aceh. Tulisan asal peserta yang terpampang di selempang telah menghina Aceh sebagai negeri bersyariat Islam.

Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Zahrol Fajri mengaku pihaknya tidak tahu menahu adanya kontes tersebut apalagi mengirimkan utusan untuk mengikutinya.

“Kami dari Pemerintah Aceh tidak pernah mengirimkan perwakilan daerah untuk mengikuti acara itu,” kata Zahrol Fajri kepada wartawan, Rabu (7/8/2024).

Dengan nada kecewa, Zahrol menyebutkan, pihaknya saat ini sedang menyelidiki siapa sosok yang memfasilitasi peserta itu untuk mengikuti kegiatan tersebut hingga mencari peserta yang membawa nama daerah Aceh.

Menurutnya, kontes kecantikan transgender dengan partisipan berselempang Aceh sangat bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. “Pemerintah Aceh sangat keberatan yang bersangkutan mengatasnamakan Aceh,” katanya.

Anggota DPD RI dari Aceh Sudirman, “marah” setelah video singkat kontes kecantikan itu beredar. Dia mengecam pemenang kontes tersebut yang bernama Ayu Saree dengan berselempang Aceh.

Haji Uma panggilan akrabnya menyebutkan, adanya peserta yang mengatasnamakan Aceh dalam kontes transgender tersebut merupakan bentuk penghinaan bagi Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam.

“Itu penghinaan bagi Aceh. Saya justru menduga mereka sengaja membenturkan penerapan syariat Islam di Aceh dengan memenangkan peserta dari Aceh yang tidak jelas asal usulnya,” ungkap Haji Uma.

Di Aceh, lanjut Haji Uma, hanya ada laki-laki dan perempuan, tidak ada sudut yang mengatur legalitas waria. Haji Uma mengakui, sejauh ini dia belum mengetahui organisasi atau lembaga mana yang menyelenggarakan kontes transgender tersebut, sehingga dirinya belum dapat mengambil tindakan konkret atas masalah ini.

Menyingung soal polemik yang muncul atas kontes tersebut, Haji Uma meminta agar panitia penyelenggara kontes transgender tersebut harus meminta maaf kepada rakyat Aceh. Ke depan, tidak boleh lagi ada penerimaan peserta yang mengatasnamakan Provinsi Aceh.

“Mereka harus minta maaf dan ke depan tidak boleh adalagi peserta dari Aceh untuk kegiatan apapun atas nama waria atau transgender, jangan rusak nama Aceh,” pinta haji Uma.

Demikian dengan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh Tgk. Syibral Malasyi mengecam kontes Miss Beauty Star Indonesia. Menurutnya  kontes ini telah memicu kontroversi dan membawa nama Aceh dan terpilih sebagai pemenang.

“Kami mempertanyakan apakah kontes waria ini memiliki izin resmi dan apakah peserta yang membawa nama Aceh mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah Aceh dan Dinas Pariwisata Aceh,” ujarnya, Selasa (06/08/2024).

Tgk. Syibral, menyesalkan penyelenggaraan kontes ini yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai syariat Islam yang dianut di Aceh.

“Jika memang ini adalah kontes waria, maka ini adalah pelanggaran terhadap syariat Islam dan sangat memalukan. Pemerintah dan pihak terkait harus segera memanggil panitia dan peserta kontes untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawaban,” tegasnya.

Tgk Syibral juga menekankan bahwa kontes tersebut sama sekali tidak mewakili prinsip-prinsip syariat Islam yang dijunjung tinggi di Aceh.

“MPU Kota Banda Aceh menunggu sikap tegas dari pemerintah untuk menindaklanjuti masalah ini. Kami berharap ada langkah konkret untuk memastikan hal serupa tidak terjadi lagi di masa depan,” ujarnya.

Sementara itu, seorang akademisi dari IAIN Lhokseumawe, Dr Bukhari MH CM mengatakan, kegiatan ini merusak citra Aceh yang selama ini dikenal dengan komitmennya dalam menegakkan syariat Islam.

“Aceh memiliki hukum adat yang kuat dan segala bentuk kegiatan yang bertentangan dengan syariat Islam harus ditolak dan tidak boleh dibiarkan,” ujarnya.

Masyarakat Aceh yang terkenal dengan penerapan syariat Islam secara ketat, merasa bahwa klaim tersebut adalah sebuah provokasi. Dalam konteks syariat Islam, segala bentuk perubahan identitas seksual tanpa alasan yang dibenarkan agama dianggap sebagai pelanggaran,” sebutnya.

“Kita harus menjaga marwah Aceh dengan menolak segala bentuk propaganda yang merusak citra kita sebagai masyarakat yang taat pada syariat Islam,” sebut Dr Bukhari.

Menurutnya, Pemerintah Aceh perlu mengambil langkah hukum untuk memberikan efek jera dan memastikan bahwa tidak ada lagi individu yang mengatasnamakan Aceh dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam dan muruah Aceh.

“Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa Aceh tetap menjadi daerah yang dihormati dan dijunjung tinggi karena komitmennya dalam menjalankan syariat Islam,”  kata Dr Bukhari.

Kecaman juga datang dari Pimpinan Wilayah Persaudaraan Muslimah (Salimah) Aceh,  Rahmi Suraiya, S. Dia mengecam kontes itu yang membawa nama Aceh.

Kegiatan ini berpotensi merusak nilai-nilai sosial budaya dan nilai-nilai kekhususan dan keistimewaan yang ada di Aceh dalam bingkai syariah Islam.

“Kita tau bersama daerah Aceh berlaku syariat Islam. Prilaku penyimpangan sosial tidak mendapatkan tempat di Aceh,” sebutnya.

“Allah sudah menciptakan pria dan wanita berbeda sesuai dengan kodratnya untuk saling melengkapi. Jika ini dilanggar, bisa dipastikan akan terjadi kerusakan fungsi sosial dan agama dalam masyarakat dan mengundang murkanya Allah sang pencipta,” jelasnya.

Menurut Rahmi, Pemerinah Aceh  harus tegas dan berupaya untuk mengusut delegasi dan panitia acara tersebut. Ini dilakukan agar tindakan yang berpotensi merusak moral dan tatanan sosial masyarakat Aceh tidak terulang kembali.

Selain itu pemerintahan Aceh juga perlu membuat peraturan untuk acara-acara yang mengatasnamakan utusan Aceh. Semua yang mengatasnamakan perwakilan daerah harus ada izin resmi dari pemerintah Aceh, ujarnya.

Diobati

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis, menyatakan bahwa peserta kontes kecantikan transgender atau waria yang berlangsung di salah satu hotel di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada Minggu (4/8/2024), perlu dibantu untuk kembali ke gender mereka yang hakiki.

“Kita harus membantu mereka kembali kepada gender yang hakiki. Oleh karena itu, teman-teman yang sudah telanjur menjalani perubahan gender perlu dibantu secara psikologis dan medis untuk kembali kepada jati dirinya yang asli,” ujar Cholil Nafis dalam program “Beritasatu Sore” yang ditayangkan BTV beberapa waktu lalu.

Cholil menegaskan transgender tidak dibenarkan secara agama maupun hukum di Indonesia. Dalam Islam, hanya dikenal dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.

“Kegiatan ini harus ditindak secara hukum karena tidak memiliki izin dan melanggar asas identitas diri manusia. Di Indonesia, perubahan jenis kelamin dilarang, apalagi dalam bentuk kontes yang seakan-akan memamerkan hal tersebut,” kata Cholil.

Ia meminta polisi mengusut tuntas kasus ini dan memproses penyelenggara secara hukum karena kontes tersebut dilakukan tanpa izin.

“Saya sangat mengapresiasi pihak aparat yang telah menyelidiki kasus ini dan berharap bahwa tempat serta orang-orang yang terlibat dapat ditemukan dan diproses secara hukum,” tambahnya.

Kritikan juga disampaikan Senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Dailami Firdaus. Menurutnya, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) DKI Jakarta sudah lalai atau kecolongan dengan adanya kegiatan tersebut.

“Ini harus menjadi evaluasi, termasuk pihak hotel. Jangan hanya mengejar keuntungan semata,” kata Dailami. Menurutnya, pilihan menjadi waria bertentangan dengan ajaran agama dan dapat merusak generasi bangsa.

“Ini bukan sekadar kontes kontes kecantikan waria. Tapi, ada perilaku seks menyimpang yang kemudian terjadi dari pilihan menjadi waria, pasti orientasinya kan jadi homoseksual,” kata Dailami.

Senator dari Dapil DKI Jakarta ini menyebut, perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) tidak diterima di Indonesia, karena juga tidak sesuai dengan norma-norma ketimuran.

“Saya minta harus ada sanksi tegas dan pemeriksaan kepada panitia penyelenggara, pasti ada aturan atau perizinan yang dilanggar. Ini bisa merusak moral anak bangsa,” kata Dailami.

Tidak Ada Izin

Aksi nekat panitia yang menyelenggarakan kontes ini harus dipertanggungjawabkan. Menurut pihak Kepolisian, kegiatan kontes ini tidak ada izin resmi. Pihak kepolisian sudah memastikan, bahwa kontes tersebut illegal.

Hal tersebut dijelaskan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, menjawab pertanyaan media. Menurutnya Sejauh ini tidak ada izin terkait penyelenggaraan.

Kombes Ade mengatakan, pihaknya akan menyelidiki peristiwa tersebut. Pihak panitia acara juga akan diklarifikasi soal kegiatan itu. “Diawali dari penanggung jawab lokasi, penanggung jawab acara, hingga beberapa pihak yang diperlukan untuk dimintai klarifikasi,” kata Ade Ary.

Polisi juga akan memintai klarifikasi dari pihak hotel, untuk mengetahui siapa saja yang melakukan kegiatan tersebut. “Pemilik tempat hotel pasti ada komunikasi dengan penyelenggara, alasan apa tujuan apa,” jelasnya.

Pihak penyelenggara mengakui booking Hotel untuk gala dinner.Director Of Sell Hotel Orchardz, Ahmad Gandy mengatakan pihaknya turut menjadi korban dalam kasus tersebut.

Dia menjelaskan, di awal kegiatan pihak penyelenggara acara itu mengaku menyewa hotel untuk keperluan gala dinner, bukan untuk kontes kecantikan transgender tersebut. Jka pihaknya mengetahui hal itu, maka ia tidak akan mungkin mengizinkan acara itu digelar di hotelnya.

“Kalau kami tahu acaranya seperti itu pasti kami larang. Tak mungkinlah kami menerima event seperti itu. Pihak panitia ketika ditanya menyebutkan kegiatanya hanya gala dinner,” sebutnya.

Menurutnya, hotel sifatnya terbuka untuk umum dan pemesan mengenakan pakaian pria seperti pada umumnya, menurut Ahmad, komunitas tersebut pun mendapatkan pesanannya, termasuk kamar hotel. Jadi masalah, mereka membuat kontes acara di dalam acara gala dinner waktu itu tanpa laporan ke pihak hotel.

Bahkan, pegawai hotel dilarang masuk ke acara. Petugas hanya bisa masuk di awal saat acara masih berlangsung normal.Peserta yang boleh masuk hanya dari komunitas tersebut dengan tanda pengenal berupa gelang. Ahmad mengakui, petugas pun terkelabui oleh penyelenggara acara.

Pihak hotel akan kena sanksi. Wali Kota Administrasi Jakarta Pusat Dhany Sukma enggan menjelaskan lebih detail.Pasalnya, pemberian sanski itu akan diberikan setelah Pemkot Jakpus berkoordinasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait.

“Ini lagi dibahas untuk menentukan itu ya, apakah ada indikasi pelanggaran terkait masalah perizinan atau apa. Nanti  kami coba konsolidasikan dari berbagai unit kerja,” sebutnya.

Pertiwi, khususnya Aceh bagaikan mendapat sambaran petir disiang bolong atas terselenggaranya kontes waria ini. Nama negeri bersyariat Islam ini sudah dicoreng dengan sebuah kontes waria, publik tidak menerimanya.

Apakah akan ada proses hukum, agar kasus ini tidak terulang kembali demi sebuah pembelajaran, kita ikuti saja bagaimana ahir kisah drama dari kontes waria ini yang membawa nama Aceh, hingga Pertiwi geger. **** Bahtiar Gayo

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News