Nukilan.id – Pemerintah Indonesia harus menghormati kesepakatan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan konflik Aceh, yang dikenal dengan Memorandum Of Understanding (MoU) Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005 lalu.
Hal itu disampaikan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil, S.H dalam keteranganya kepada Nukilan.id, Rabu (29/12/2021).
Khairil menyampaikan, setelah MoU Heksinki ditandatangani telah berakhir konflik kedua belah pihak. Kemudian pemerintah membuat Undang-Undang Pemerintah (UUPA). Sejumlah kekhususan Aceh tercantum dalam regulasi tersebut, bahwa Aceh bisa mengatur pengelolaan pemerintahan sendiri. Termasuk di dalamnya bisa membuat bendera dan lambang sendiri.
Namun, kata dia, perkembangan akhir-akhir ini ada pemanggilan beberapa mantan kombatan oleh Polda Aceh karena mengibarkan bendera Bulan Bintang pada peringatan HUT GAM tidak beralasan kuat secara hukum.
“Karena bendera tersebut bukanlah simbul pemberontakan dan sparatis, tetapi itu hanya identitas keacehan sesuai dengan kesepakatan MoU Helsinki,” tegas Khairil.
Ia menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia (RI) nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah pasal 10 ayat 1 disebutkan “Bendara daerah dapat digunakan sebagai pendamping bendera Negara pada bangunan resmi pemerintah daerah, gapura, perbatasan antar provinsi, kabupaten dan kota, serta sebagai lencana atau gambar dan/atau kelengkapan busana.
“Kemudian juga diperkuat pada pasal 13 bisa ditempatkan di bagian luar dan/atau di bagian dalam bangunan resmi pemerintah daerah,” jelasnya.
Menurutnya, bendara yang dikibarkan di Aceh tidak bertentangan dengan PP Nomor 77 Tahun 2007 tersebut. Dalam penjelasan Ayat 4 disebutkan bawah “Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/ lembaga/ gerakan separatis dalam ketentuan ini.
“Misalnya, logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku,” terang Khairil.
Oleh karena itu, kata dia, Koalisi NGO HAM Aceh menilai, pemanggilan sejumlah mantan kombatan GAM mengibarkan bendera bulan bintang tidak beralasan, karena bendera yang dikibarkan bukan seperti yang disebutkan dalam PP Nomor 77 Tahun 2007 tersebut, yaitu bendera bulan sabit.
UUPA Pasal 246 menyatakan, selain Bendera Merah Putih, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan, pada ayat (4) dinyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam qanun Aceh.
“Kemudian adanya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 yang masih sah karena belum pernah dicabut dari dalam lembar daerah Aceh yaitu belum ada pembatalan,” ujar Khairil.
Selain itu juga, Koalisi NGO HAM Aceh meminta kepada aparat penegak hukum untuk menghormati proses perdamaian yang sudah berjalan di Aceh.
Atas dasar itu, Koalisi NGO HAM menyatakan sikap:
- Meminta kepada Kapolda Aceh untuk menghentikan proses hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana makar.
- Meminta kepada Pemerintah Aceh untuk bertanggung jawab terhadap penerapan qanun nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang.
- Meminta kepada pemerintah pusat, untuk menghormati perdamaian Aceh yang sudah terajut selama 16 tahun lebih.