NUKILAN.id | Banda Aceh – Kekerasan berbasis gender (KBG) masih menjadi persoalan serius di Aceh, terutama akibat kuatnya pengaruh adat istiadat dan stigma sosial. Seorang penyintas, sebut saja Bunga, membagikan pengalaman pahitnya sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang menyoroti tantangan dalam melindungi perempuan di provinsi ini.
Bunga (bukan nama sebenarnya), ibu rumah tangga asal Aceh Besar, menceritakan awal mula kekerasan yang dialaminya setelah mengetahui suaminya berselingkuh. Konflik tersebut berujung pada kekerasan fisik dan emosional.
“Saya melawan karena tidak terima dengan tindakan itu, tetapi perlawanan saya tidak cukup menghentikan kekerasan,” ujarnya saat diwawancarai oleh Nukilan.id, Sabtu (22/12/2024).
Upayanya mencari perlindungan tidak berjalan mulus. Minimnya pengetahuan tentang jalur hukum dan kurangnya dukungan lingkungan membuat Bunga merasa terisolasi.
“Saya tidak tahu harus ke mana melapor. Keluarga dan masyarakat sekitar pun tidak mendukung,” kata Bunga.
Di lingkungan tempat tinggalnya, budaya setempat menganggap persoalan rumah tangga tidak layak dipublikasikan.
“Setiap masalah rumah tangga harus disimpan rapat-rapat. Itu membuat saya semakin sulit mencari bantuan,” tambahnya.
Harapan Bunga mulai muncul ketika ia mendapat bantuan dari Flower Banda Aceh, sebuah organisasi yang fokus pada perlindungan perempuan. Organisasi ini memberikan dukungan hukum dan pelatihan untuk membantunya memulihkan diri.
“Mereka memberi saya kesempatan untuk bertemu dan berbaur dengan orang baru. Itu sangat membantu,” ujar Bunga.
Bunga menilai sistem perlindungan perempuan di Aceh masih memiliki banyak kekurangan. Salah satunya adalah minimnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.
“Adat istiadat di sini membuat suara perempuan kurang didengar. Ini menjadi hambatan besar dalam melawan KBG,” jelasnya.
Ia juga mengungkap stigma sosial yang kerap melekat pada penyintas KBG, termasuk statusnya sebagai janda.
“Trauma dan rasa malu terus menghantui karena di Aceh, status janda masih dianggap tabu,” ungkapnya.
Meski menghadapi banyak tantangan, Bunga terus bertahan demi anak-anaknya. Ia juga berharap pola pikir perempuan di Aceh berubah, sehingga mereka lebih berdaya dan mandiri.
“Perempuan harus berani mengambil sikap tegas terhadap KDRT. Kita bisa mandiri meski bersuami,” katanya.
Bunga juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan efektivitas sistem perlindungan perempuan dan anak.
“Upaya pemerintah masih kurang karena budaya ketimuran sering menempatkan perempuan pada posisi subordinat,” tuturnya.
Bunga berpesan kepada perempuan yang mengalami kekerasan agar tidak takut berbicara dan mencari bantuan.
“Jangan ragu untuk membuka diri. Kita harus berani mengambil sikap tegas,” pesannya.
Kisah Bunga mencerminkan kompleksitas KBG di Aceh yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu, tetapi juga sistemik. Adat istiadat, stigma sosial, dan minimnya dukungan menjadi penghalang bagi perempuan untuk mendapatkan keadilan.
Namun, keberadaan organisasi seperti Flower Banda Aceh memberikan harapan akan perubahan. Pemberdayaan perempuan, edukasi publik, dan reformasi kebijakan menjadi langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa kekerasan berbasis gender bukan hanya persoalan individu, melainkan tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah untuk mengatasinya. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah