NUKILAN.id | Banda Aceh – Bagaimana perkembangan penangan kasus korupsi di Aceh pada tahun 2024, apa yang harus dilakukan kedepanya. Apa harapan pada penegak hukum, masihkah sistem tebang pilih, apakah masih menyelamatkan aktor utama?
Mengapa APH seperti “alergi” mengulik korupsi pejabat pemerintahan, namun lebih banyak mengungkapkan anggaran gampong? Apa yang harus dilakukan APH, agar mereka semakin professional. Apa harapan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh hasil Pilkada 2024. Haruskah korupsi terus merebak?
Bagaimana sebaiknya rakyat Aceh bersikap, karena yang menjadi korban dari perkara korupsi adalah rakyat. Menjawab semua pertanyaan itu, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) sudah merangkumnya dalam sebuah catatan.
Koordinator MaTA, Alfian, mengirimkan rangkuman hasil kerjanya kepada Redaksi, Rabu (08/01/2025).
Menurut MaTA yang memulai analisa korupsi dengan mengurai Persepsi Korupsi Indonesia pada skor 34 dari penilaian 0 – 100 pada Oktober 2024. Keadaan ini menempatkan Indonesia di posisi ke – 109 CPI, masih berada jauh di bawah beberapa negara di ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina.
MaTA menilai, maraknya dugaan adanya tindak pidana korupsi hingga sampai saat ini masih terus terjadi di Aceh. Baik di level Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kab/kota) hingga level Pemerintah Desa Gampong).
Untuk itu, MaTA melakukan pemetaan terhadap kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum dan monitoring putusan pengadilan Tipikor. Pihaknya melihat sejauh mana progress penindakan kasus korupsi berjalan dari tahun ke tahun di Aceh dan perbandingan dengan tahun sebelumnya.
Pihaknya juga mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus korupsi pada intitusi penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Untuk itu MaTA memerlukan sumber data dan tahapan. Mengumpulkan Informasi dari pemberitaan media massa baik cetak maupun online lokal dan nasional. Informasi dari website Kejaksaan, Kepolisian, BPK, SIPP Pengadilan Negeri Banda Aceh dan Direktori Putusan Mahkamah Agung.
Melakukan pengumpulan data, baik informasi dari kejaksaan dan kepolisian baik tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi erta informasi dari media massa, baik cetak maupun online.
Melakukan validasi, kompilasi dan kemudian dilakukan analisis temuan/kasus berdasarkan sektor korupsi, modus, aktor dan lainnya. Melakukan kampanye dan rekomendasi atas analisa hasil temuan kepada publik dan aparat penegak hukum
Jumlah kasus yang ditangani MaTA mengambil perbandingan antara tahun 2023 dan 2024. Ditahun 2023 terdapat 32 kasus dengan jumlah kerugian negara mencapai Rp171 miliar lebih. Pada tahun 2024, terdapat 31 kasus dengan jumlah 64 orang tersangka dan kerugian negara mencapai Rp56,8 miliar
Dari jumlah tersangka 64 orang tersangka di tahun 2024, (Laki – laki 62 dan Perempuan 2) dengan pelaku terbanyak dari unsur ASN, Pemerintah Desa, swasta, dan anggota DPRK.
MaTA juga mengungkapkan jumlah kasus berdasarkan sektor, ternyata sektor dana desa masih mendominasi perkara korupsi. Hal ini terlihat dari jumlah kasus korupsi dana desa mencapai 16 kasus.
Selanjutnya, disusul sektor keagamaan, Kesehatan, Pendidikan, dan Sosial Kemasyarakatan masing -masing 2 kasus.
MaTA juga mengungkapkan korupsi berdasarkan modus; Penyalahgunaan Anggaran (15 kasus) Penggelapan(5), Penyalahgunaan Wewenang (3) Laporan Fiktif4, suap menyuap( 1) penyunatan/ pemotongan (1) mark up (2).
Namun soal kerugian negara berdasarkan modus ternyata didominasi Penyalahgunaan Anggaran yang nilainya mencapai Rp 9,3 miliar. Disusul penggelapan( Rp 3,449 miliar), Penyalahgunaan Wewenang Rp 15,3 miliar.
Laporan Fiktif mencapai Rp 4,2 miliar, mark up 3,451 miliar modus penyunatan/ pemotongan mencapai Rp 918 juta dan suap menyuap Rp10 Juta.
Menurut catatan MaTA kasus korupsi yang banyak ditangani oleh APH masih menyasar level pemerintahan gampong (51,61%).Berbeda dengan tahun 2023, jumlah kasus lebih dominan di level pemerintah kab/kota.
Terjadi perubahan area kasus yang menunjukkan APH seperti “menghindari” risiko lebih tinggi dalam penanganan kasus (relasi kekuasaan).
Lembaga Hukum yang menetapkan tersangka tahun 2024, Kejaksaan telah menangani sebanyak 18 kasus korupsi, sementara Kepolisian berhasil menangani 13 kasus.
Jumlah putusan Pengadilan Tipikor Banda Aceh menangani 40 kasus tindak pidana korupsi, dengan jumlah 78 putusan dan terdakwa sebanyak 82 orang.
Untuk tuntutan JPU vs Vonis Hakim, MaTA mencatat, Pengadilan Tipikor Banda Aceh telah memvonis 82 terdakwa. Dengan rincian 57 di vonis ringan (1- 4 tahun), 12 orang vonis sedang (4,1-10 tahun), 1 vonis berat (10 tahun keatas) dan 10 orang dijatuhi vonis bebas.
Dari 78 putusan, ada 4 kasus diputus bebas oleh PN Tipikor Banda Aceh (tingkat pertama) dan 5 kasus vonis bebas di Tingkat banding (PT). Sementara itu, MA mengabulkan 2 kasasi JPU. 1 putusan bebas 2023 dan 1 putusan bebas 2024.
MaTA juga mencatat obral vonis bebas sejak 2020-2024, 26 vonis bebas. Kasasi JPU dikabulkan 69,24%. Masih Dalam Proses 11,53%. Kasasi ditolak 19,23%.
Selama 2024, Pengadilan Tinggi Banda Aceh (banding) memutuskan 5 putusan bebas yang sebelumnya divonis penjara dan denda di Pengadilan Tipikor Tahun 2024.
MaTA membuat pertanyaan apa yang bisa dicatat ditahun 2024? APH telah menetapkan 64 tersangka dari 31 kasus korupsi, dengan total potensi kerugian negara mencapai Rp 56.865.319.017,45.
Pengungkapan kasus korupsi paling tinggi pada Pemerintahan Desa dengan 16 kasus, sedangkan pada Pemkab/Kota hanya 7 kasus.
APH telah mengungkap 31 kasus korupsi; (18 kasus oleh Kejaksaan) dan (13 kasus oleh Kepolisian) yang sudah ada penetapan tersangka.
Pengadilan Tipikor Banda Aceh mengeluarkan 78 putusan, dan 82 terdakwa dari 40 kasus yang disidangkan. Pengadilan Tipikor Banda Aceh telah memvonis 82 terdakwa.
Dengan rincian 57 divonis ringan (1-4 tahun), 12 orang vonis sedang (4,1-10 tahun), 1 vonis berat (10 keatas) dan 10 orang dijatuhi vonis bebas.
Pengadilan Tipikor Banda Aceh menjatuhi vonis bebas terhadap 4 kasus, vonis bebas di Pengadilan Tinggi Aceh sebanyak 5 Kasus, dan 2 putusan kasasi yang membatalkan vonis bebas.
Pengadilan dalam penanganan kasus Tipikor masih jauh dari harapan. belum memberikan efek jera dan belum berpihak terhadap upaya semangat pemberantasan korupsi dengan menghukum koruptor dengan seberat-beratnya.
Apa yang harus dilakukan? Kepolisian dan Kejaksaan di Aceh harus lebih pro aktif melakukan penyelidikan pada sejumlah dugaan kasus korupsi “kelas berat” di Aceh.
Seperti dalam Pembangunan RS Regional, pengelolaan Dana POKIR DPRA, pembayaran utang proyek tahun anggaran sebelumnya seperti di Dinas Pendidikan Aceh, dst), sehingga tidak hanya focus pada korupsi level Gampong.
Pengungkapan kasus korupsi jangan berhenti pada “pelaku operasional”, tanpa menjangkau “pelaku utama”. Banyak kasus yang diputuskan di Pengadilan Tipikor justru mengabaikan “pelaku utama” yang semestinya harus dijerat hukuman berat.
Apa yang Seharusnya Dilakukan? MaTA memberikan rekomendasi, Penyidik lebih teliti pada pemenuhan bukti yang kuat dan lengkap dan memastikan tidak ada celah hukum bagi terdakwa untuk menghindari hukuman. Penyidikan yang cermat dan berkualitas akan mendukung proses penuntutan yang efektif.
Kejaksaan lebih cermat dalam menyusun dakwaan, agar tidak ada celah yang bisa digunakan oleh terdakwa untuk lolos dari hukuman. Kekeliruan menyusun dakwaan berpotensi besar menjadi celah lahirnya putusan ringan maupun vonis bebas.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh harus lebih profesional dan berintegritas untuk menghasilkan putusan yang berkualitas dan berkeadilan.
Banyaknya vonis bebas yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) menunjukkan rendahnya integritas majelis hakim di Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Komisi Yudisial di Aceh harus bekerja lebih keras untuk menjaga dan menegakkan etik dan perilaku hakim, dengan melakukan evaluasi mendalam terhadap trend vonis ringan dan vonis bebas yang terjadi, baik di tingkat pertama, tingkat banding, maupun tingkat kasasi yang kemudian banyak dibatalkan oleh MA.
“Saat Kasus Korupsi Makin Marak di Gampong”, MaTA mendorong Mendoriong DPMG Kab/Kota agar harus pro aktif melaporkan Pemerintah Gampong yang terindikasi korupsi ke APH. Memperkuat pengawasan terhadap penggunaan dana desa.
Mempekuat partisipasi masyarakat harus lebih aktif terlibat dalam mengawasi anggaran desa. Mewajibkan dan melakukan asistensi agar Pemerintah Gampong menjalankan UU Keterbukaan Informasi Publik di Gampong.
Mengambil kebijakan tegas melarang kegiatan studi banding ke luar daerah yang marak terjadi di Kab/Kota di Aceh.
Bagaimaan dengan Pemerintah Aceh yang Baru pasca Pemilukada 2024? MaTA mengingatkan; Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang baru harus menjadi pelopor jalannya roda birokarsi yang terbuka dengan menjalankan UU Keterbukaan Informasi Publik secara komprehensif.
Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang baru harus memberikan perhatian dan komitmen yang sungguh- sungguh dalam upaya pencegahan dan penindakan kasus korupsi di Aceh.
Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang baru harus membangun roda birokarasi yang akuntabel dengan menempatkan pejabat SKPA yang bersih melalui mekanisme yang terbuka, dan tidak merekrut pejabat yang selama ini ditengarai mempunyaj rekam jejak yang korup.
Untuk masyarakat Aceh MaTA berharap harus terus berani dan aktif dalam mengawasi dan melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Karena uang yang dikorupsi salah satunyaberasal dari pajak masyarakat Aceh, dan masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan dari tindakan korupsi tersebut.
Analisis mendalam yang disampaikan MaTA, semoga menjadi “cemeti”, agar di tahun 2025 kasus korupsi di Aceh tidak semakin membengkak, namun mampu diperkecil. Semoga.
* Bahtiar Gayo