NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Tak selamanya makanan tradisional harus berada di bawah bayang-bayang sajian modern. Bahkan, dalam beberapa kasus, kuliner klasik justru mampu menyingkirkan dominasi makanan cepat saji global. Itulah yang terjadi pada Kentaro Ogawa.
Lewat seporsi gyudon—nasi hangat berisi daging sapi ala Jepang—Ogawa membuktikan bahwa kekayaan bisa diraih dari sesuatu yang sederhana.
Dari Demonstran ke Pengusaha
Kentaro Ogawa bukan berasal dari keluarga konglomerat. Ia lahir pada 29 Juli 1948 di Jepang. Saat muda, Ogawa tercatat kuliah di Universitas Tokyo pada era 1960-an. Di masa itu, ia dikenal sebagai mahasiswa kritis yang aktif berorganisasi.
Namun, pandangan ideologis yang tajam membuatnya meninggalkan kampus terbaik di Jepang. Setelah itu, ia bekerja sebagai buruh galangan kapal dan aktif dalam serikat pekerja. Tetapi, pekerjaan tersebut tak bertahan lama.
Perjalanan hidupnya berubah saat ia bekerja di Yoshinoya, restoran cepat saji yang populer di Jepang. Dari pengalaman itu, Ogawa melihat peluang besar di dunia kuliner.
Mendirikan Zensho dengan Modal Terbatas
Dalam waktu lima tahun, Ogawa mengambil langkah berani. Ia keluar dari Yoshinoya dan mendirikan usaha sendiri. Bermodal 5 juta yen, ia membangun Zensho—perusahaan jasa makanan yang bermarkas di Prefektur Kanagawa.
Mimpinya sederhana namun besar: menciptakan infrastruktur pangan yang menjamin makanan aman dan terjangkau untuk semua orang.
Tak hanya itu, ia juga membawa dua misi besar. “Menciptakan dunia yang bebas dari kelaparan dan kemiskinan serta menjadi perusahaan makanan terkemuka di dunia.”
Menu pertama yang ditawarkan adalah bento, kotak makan siang khas Jepang. Usahanya berkembang cepat. Hanya empat bulan setelah didirikan, Ogawa membuka restoran Sukiya di Yokohama.
Menyaingi Raksasa, Menguasai Pasar
Restoran Sukiya menjadi titik balik. Menu gyudon yang murah dan cepat menjadi primadona. Hanya dalam waktu lima tahun, pangsa pasar gyudon Zensho melesat ke angka 67 persen—mengalahkan Yoshinoya dan Matsuya.
Meski sukses besar di Jepang, Ogawa tak lantas berpuas diri. Ia menyadari bahwa profil demografi Jepang yang menua bisa menghambat pertumbuhan.
Karena itu, ia mulai melirik pasar internasional.
Ekspansi ke Mancanegara
Ekspansi dimulai ke Tiongkok. Awalnya, Zensho hanya memiliki 13 gerai Sukiya. Jumlah itu jauh di bawah Yoshinoya yang sudah memiliki lebih dari 250 gerai di Tiongkok dan Hong Kong.
Namun, Ogawa tak berhenti di sana. Ia terus melebarkan sayap ke Amerika Serikat dan Brasil. Sepanjang tahun 1990-an hingga 2000-an, ekspansi dilakukan secara agresif.
Zensho tak hanya fokus pada gyudon. Mereka juga mengakuisisi dan meluncurkan berbagai merek restoran lain. Beberapa di antaranya adalah Coco’s Japan, Big Boy, Nakau (udon dan mangkuk nasi), Hanaya Yohei (sushi), dan Jolly-Pasta.
Dengan strategi ini, Ogawa ingin meningkatkan porsi penjualan dari luar negeri menjadi 20 persen dalam lima hingga sepuluh tahun. Impian itu kini menjadi kenyataan.
Mengalahkan McDonald’s di Jepang
Pada 2017, Sukiya semakin bersinar. Rantai restoran 24 jam ini menawarkan gyudon seharga hanya US$3 per porsi. Popularitasnya melonjak tajam.
Berkat performa tersebut, Zensho berhasil mencetak pendapatan tahunan sekitar US$4,7 miliar—angka yang bahkan mengalahkan pendapatan McDonald’s di Jepang.
Tiga bulan pertama tahun 2025 mencatatkan prestasi baru. Penjualan Zensho melonjak 17,7 persen menjadi 1,136 triliun yen. Untuk pertama kalinya, perusahaan makanan di Jepang mencatatkan penjualan lebih dari 1 triliun yen.
Hartanya Tembus Rp57 Triliun
Capaian bisnis yang luar biasa ini membuat Ogawa masuk dalam jajaran orang terkaya di Jepang. Forbes mencatat bahwa Ogawa memiliki kekayaan mencapai US$3,5 miliar atau setara Rp57,02 triliun (kurs Rp16.294 per dolar AS).
Dengan kekayaan sebesar itu, ia duduk di posisi ke-14 sebagai orang paling tajir di Jepang.
Editor: Akil