Nukilan.id – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meminta Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang telah masuk dalam Program Legislasi Aceh (Prolega) tahun 2022 ini agar segera dilakukan perubahan dengan cepat, cermat dan tepat.
Hal itu disampaikan Anggota Komisi I DPRA, Darwati A. Gani pada Jum’at (4/2/2022) dalam rapat paripurna tahun 2022 dalam rangka persetujuan penetapan rancangan qanun usul inisiatif DPRA.
“Revisi Qanun Jinayat ini harus disegerakan, mengingat angka kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat, dan substansi Qanun Jinayat yang saat ini belum mengakomodir perlindungan, pencegahan bahkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak di Aceh,” kata Politisi Partai Nanggroe Aceh (PNA) itu dalam keteranganya kepada Nukilan di Banda Aceh, Selasa (8/2/2022).
Menurut Darwati, menjaga dan melindungi anak merupakan salah satu tugas utama dari pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif demi menjamin keberlangsungan masa depan bangsa, masa depan Aceh pada khususnya.
“Yang menjadi perhatian khusus dalam perubahan adalah jarimah pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 10, pasal 34, pasal 47 dan pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat,” jelasnya.
Berikut beberapa permasalahan mendasar terkait dengan semakin maraknya terjadi kekerasan seksual terhadap anak di Aceh:
- Hukuman bagi pelaku sangat ringan, pada Undang-Undang Perlindungan Anak ancamanannya bisa maksimal 20 tahun, seumur hidup, atau bahkan hukuman mati, jika pelaku telah melakukannya berulang kali, atau terhadap banyak anak. Sedangkan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat memberi peluang kepada pelaku untuk tidak dipenjara, yaitu cukup dicambuk saja. Setelah itu dia bisa kembali bebas dan bahkan berpotensi mengulang perbuatannya.
- Sistem pembuktian dibebankan kepada anak yang menjadi korban. Anak korban harus menunjukkan saksi yang melihat dia diperkosa atau dilecehkan, kalau tidak bisa maka kasus banyak yang dibebaskan. Padahal kita tahu bahwa tidak mungkin pemerkosaan atau pelecehan dilakukan jika ditempat umum, pasti pelaku membawa korban ke tempat sunyi dan sepi. Meskipun ada hasil visum dan keterangan psikolog, aparat penegak hukum, kerap mengabaikannya.
- Perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tidak ada dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun hanya -5- berbicara bagaimana menghukum pelaku, dan belum ada nomenklatur bagaimana melindungi para korban.
- Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat belum terdapat hak pemulihan (restitusi) terhadap anak sebagai korban pelecehan seksual atau pemerkosaan.
- Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, belum memposisikan anak sebagai korban. Jika ada orang dewasa yang pacaran dengan anak dibawah umur, kemudian berhubungnan badan, maka anak juga akan diproses hukum dan diancam untuk dicambuk.
Darwati menjelaskan bahwa, rencana perubahan qanun ini adalah dalam upaya memperkuat Syari’at Islam di Aceh dan melindungi anak Aceh sebagai generasi penerus bangsa. Mencegah dan menghukum seberat-beratnya pelaku kekerasan terhadap anak di Aceh. Kemudian, perubahan ini tidak menghapus kewenangan Mahkamah Syari‟ah dan juga tidak menghapus hukuman cambuk.
Terdapat beberapa pertimbangan substansial yang sangat mendasar terkait dengan rencana perubahan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yaitu:
- Pasal 1 angka 40 berbunyi “anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah”. -6- Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan Negara, setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan Anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
- Pasal 34 berbunyi “setiap Orang dewasa yang melakukan Zina dengan anak, selain diancam dengan „Uqubat hudud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan”. Pasal 34 memposisikan anak yang menjadi korban persetubuhan dengan tanpa paksaan sebagai pelaku zina, karena pada Pasal 1 angka (26) menjelaskan zina terjadi hanya jika terdapat unsur kerelaan kedua belah pihak, dalam hal ini termasuk kerelaan dari anak yang menjadi korban. Namun dalam skema perlindungan anak, kendatipun anak melakukan zina dengan atau tanpa kerelaannya, maka anak tetap harus dipandang sebagai korban di hadapan hukum.
- Bahkan jika tindak pidana itu menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
- Pasal 47 yang berbunyi “setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk paling banyak 90 -7- (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan”. Usia anak di dalam Pasal 1 angkat (40), anak merupakan orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah. Sementara pada Pasal 26, usia anak dibatasi pada usia di atas 10 tahun. Terdapat inkosistensi antara Pasal 1 angka (40) dan Pasal 26 terkait dengan usia anak.
- Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, hukuman atas pelaku jarimah pelecehan seksual dengan anak adalah cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan. Dimana terkait pemberatan hukuman dan pidana tambahan belum diatur. Selanjutnya, dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat belum mengatur tentang latar belakang, jumlah pelaku dan relasi pelaku dengan korban, selain juga tidak mengatur jumlah korban dan dampak fisik serta psikis yang dialami korban.
- Pasal 50 yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap anak-diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua ratus) bulan”.
Jarimah pemerkosaan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hanya terjadi apabila terdapat unsur kekerasan atau paksaan atau anacaman, jika tidak, maka akan dianggap zina, dan kemudian anak yang menjadi korban juga bisa diproses hukum. Dalam skema perlindungan anak, tidak terdapat istilah pemerkosaan melainkan persetubuhan. Implikasi dari penggunaan istilah persetubuhan adalah diperluasnya unsur tindak pidana
Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat belum mengatur pidana tambahan sebagai aspek untuk mencegah keberulangan tindak pidana, sehingga perlu diatur pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan kebiri kimia sebagai upaya pencegahan. Dalam Qanun, terpidana yang dihukum dengan uqubat cambuk atau denda akan segera kembali ke komunitasnya dan bertemu kembali dengan korban sehingga berpotensi mengganggu korban secara psikis, bahkan berpeluang terjadinya pengulangan tindak pidana pada korban yang sama maupun korban baru.
Reporter: Hadiansyah