Nukilan.id – Kejaksaan Tinggi Aceh didesak untuk menyelidiki kegiatan reses Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh tahun anggaran 2021 yang berpotensi menyebabkan kerugian daerah sebesar lebih dari Rp 1,5 miliar.
Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Aceh, ditemukan bahwa pertangungjawaban belanja barang dan jasa pada kegiatan reses DPRK Banda Aceh pada tahun anggaran 2021 sebesar Rp 1.585.359.776 tidak valid dan berpotensi menimbulkan kerugian daerah.
“Karena temuan awalnya sudah ada dan waktu kesempatan pengembalian potensi kerugian negaranya selama 60 hari kelender juga sudah lewat sebagaimana peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2007, maka sudah seyogyanya pihak Kejati sebagai penegak hukum untuk menyelidiki persoalan ini, sehingga publik yakin bahwa penegakan hukum di Aceh tidak tebang pilih, dan tidak hanya tajam ke bawah lalu tumpul ke atas,” kata Ketua DPD Aliansi Mahasiswa Pemuda Anti Korupsi (ALAMP AKSI) Kota Banda Aceh, Mahmud Padang kepada Nukilan.id, Rabu (9/11/2022).
Dia juga menjelaskan, alasan kenapa pihak Kejati Aceh yang harus turun langsung menangani indikasi kerugian negara ini karena ditakutkan jika kasus ini dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh akan terjadi konflik kepentingan didalamnya.
Berdasarkan temuan BPK RI, pada tahun anggaran 2021, Pemkot Banda Aceh menganggarkan belanja barang dan jasa sebesar Rp. 492.596.694.233 dengan realisasi sebesar Rp. 390.136.638.804 atau 79,20 persen.Ā Anggaran tersebut diantaranya dipakai untuk kegiatan pelaksanaaan reses bagi 30 orang pimpinan dan anggota DPRK pada Sekretariat DPRK dengan jumlah realisasi sebesar Rp. 2.505.981.530, ditambah utang belanja kegiatan reses akibat tidak tersedianya dana di Kas Daerah sebesar Rp. 744.285.450.
Anggaran tersebut diantaranya dipakai untuk kegiatan pelaksanaaan reses bagi 30 orang pimpinan dan anggota DPRK pada Sekretariat DPRK dengan jumlah realisasi sebesar Rp. 2.505.981.530, ditambah utang belanja kegiatan reses akibat tidak tersedianya dana di Kas Daerah sebesar Rp. 744.285.450.
Dalam melaksanakan kegiatan reses, setiap pimpinan dan anggota DPRK didampingi oleh pendamping reses pada Sekretariat DPRK yang ditunjuk dengan Nota Dinas serta ditandatangani oleh Kepala Sekretariat DPRK Banda Aceh sebanyak tiga kali masa reses dalam setahun.
Pada tahun 2021, dijelaskan BPK, kegiatan reses DPRK Banda Aceh dilaksanakan selama enam hari untuk setiap masa reses sehingga pelaksanaan reses dalam setahun menjadi 18 hari per orang berdasarkan daerah pemilihan (dapil).
Sementara alokasi anggaran pelaksanaan reses setiap Pimpinan dan Anggota DPRK tahun 2021 sebesar Rp. 108.190.527 per orang untuk tiga kali masa reses.
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh BPK secara uji petik terhadap Surat Pertanggungjawaban (SPJ) kegiatan tersebut, didapati sejumlah permasalahan yaitu, SPJ belanja barang dan jasa dalam kegiatan reses senilai Rp. 1.585.358.776 tidak valid.
Dijelaskan, ada tiga penyedia pengadaan barang dan jasa pada kegiatan tersebut, yaitu CV HC, CV NP dan CV FUJ dengan jumlah pembayaran sebesar Rp.1.023.267.294 dan jumlah yang belum dibayarkan sebesar Rp. 570.150.232.
Dokumen SPJ juga disebutkan ketiga penyedia tersebut menyediakan toolkit, spanduk, fotokopi, sewa tempat pertemuan, sewa sound system, cetak foto, serta menyediakan makan dan minum.
Namun, ketika Ā dilakukan konfirmasi terhadap ketiga pemilik perusahaan, ketiganya menyatakan tidak menyediakan barang dan jasa untuk kegiatan reses, namun hanya membuat faktur pembelian yang menjadi dokumen pertanggungjawaban.
“Dari uji petik BPK ini dapat kita lihat bahwa ada indikasi fiktif dari laporan kegiatan, sehingga terindikasi besar kemungkinan adanya kerugian negara, sehingga pihak penegak hukum dalam hal ini Kejati diminta untuk sesegera mungkin melakukan penyelidikan terhadap kasus ini,” tegasnya.
Dia menambahkan, dalam temuan BPK disebutkan bahwa Pemilik CV HC, FZL mengatakan uang kegiatan reses yang masuk ke rekening perusahaannya senilai Rp. 496.191.849 (sesuai faktur SPJ) dan diserahkan ke pendamping reses anggota DPRK yang juga merupakan istrinya, RHL senilai Rp. 486.018.591 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp10.173.258, sehingga FZL tidak mengetahui pengeluaran rill atas kegiatan reses tersebut.
Kemudian, juga dijelaskan dalam temuan itu bahwa pemilik CV NP, SFL mengatakan uang kegiatan reses yang masuk ke rekening perusahaannya senilai Rp. 147.906.599 (sesuai faktur SPJ) dan diserahkan kepada pendamping reses yang juga istrinya, AHS senilai Rp. 144.757.018 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp. 3.149.581, sehingga SFL tidak mengetahui pengeluaran rill atas kegiatan reses tersebut.
Selanjutnya, Pemilik CV FUJ, FZH mengatakan juga menarik uang kegiatan reses yang masuk ke rekeningnya senilai Rp. 379.168.846 Ā dan uang tersebut diberikan kepada beberapa anggota DPRK sebesar Rp. 373.320.700 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp. 5.848.146 Lebih lanjut, saat dilakukan permintaan bukti pertanggungjawaban yang riil atas belanja kegiatan tersebut, bukti pengeluaran kegiatan reses hanya sebesar Rp. 8.057.750 yang diberikan oleh RHL.
Sementara pendamping reses lainnya yang menerima uang dari CV HC, CV NP serta beberapa anggota DPRK dari CV FUJ sampai dengan pemeriksaan terakhir, sebut BPK, tidak menyampaikan bukti-bukti pengeluaran yang riil.
Maka dari itu, kegiatan reses yang dibuat oleh ketiga CV tersebut dengan nilai Rp. 1.585.359.776 (Rp.1.593.417.526 ā Rp. 8.057.750) tidak dapat diyakini kebenaran realisasinya.
“Selain itu, BPK juga menemukan kesalahan anggaran belanja alat/bahan kantor-bahan cetak terkait kegiatan reses sebesar Rp. 805.859.000 yang dipakai untuk pembayaran utang belanja tahun 2020. Anggaran belanja tahun 2020 tersebut bukan untuk kegiatan reses melainkan kegiatan rapat-rapat paripurna, rapat-rapat alat kelengkapan dewan, dan pengadaan perlengkapan gedung kantor,”bebernya.
Dari hasil bukti pertanggungjawaban menunjukkan bahwa uang tersebut dipakai untuk pembuatan baliho/billboard, papan bunga ucapan pernikahan, grand opening toko, peringatan hari besar serta tayangan tv dan media cetak.
Tidak hanya itu, lanjutnya, sejumlah temuan lain juga disebutkan BPK, yaitu terjadi pembebanan keuangan daerah terkait belanja dalam anggaran kegiatan reses sebesar Rp. 1.202.623.980 tidak sesuai dengan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2017.
Seharusnya sesuai qanun, anggaran yang disediakan oleh Sekretariat DPRK hanya konsumsi, ATK, sewa tempat yang diberikan pihak ketiga, sedangkan Pimpinan dan Anggota DPRK diberikan uang perjalanan dinas.
“Dari temuan BPK ini, Kejati Aceh diharapkan dapat menelusuri dan menindaklanjutinya. Sebagai institusi penegak hukum, kita minta Kejati tidak segan-segan untuk melakukan penyelidikan terhadap para wakil rakyat di parlemen kota Banda Aceh itu, ini penting demi menunjukkan bahwa penegakan hukum di Aceh berjalan dengan baik dan adil,” tuturnya. [Hadiansyah]