NUKILAN.id | Banda Aceh – Tren perceraian di Aceh menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini memunculkan berbagai keprihatinan, termasuk dampak sosial yang menyertainya. Untuk menggali masalah ini lebih dalam, Nukilan.id mewawancarai seorang Sosiolog Aceh, Masrizal, guna memberikan pandangannya terhadap fenomena ini.
Masrizal menjelaskan, perceraian tidak hanya berdampak pada psikologis anak dan keluarga, tetapi juga merusak tatanan sosial di masyarakat.
“Perceraian sering kali menjadi contoh buruk bagi pasangan lain, seakan-akan perceraian adalah satu-satunya jalan keluar ketika masalah rumah tangga muncul,” katanya saat dihubungi oleh Nukilan.id, Kamis (19/12/2024).
Menurut Masrizal, masyarakat tradisional Aceh masih memegang paradigma pembagian peran rumah tangga yang belum seimbang. Suami kerap dinobatkan sebagai kepala rumah tangga sekaligus pencari nafkah utama, sedangkan istri lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga. Ketika perceraian terjadi, ketimpangan ini memperburuk dampak yang dirasakan, terutama pada aspek ekonomi.
“Perceraian memutus mata rantai ekonomi keluarga. Istri yang pasif secara ekonomi akan kesulitan melanjutkan kehidupan, terutama jika memiliki anak yang masih bergantung pada mereka,” tambahnya.
Akademisi Universitas Syiah Kuala ini juga menyoroti pergeseran nilai kekerabatan di masyarakat Aceh. Jika pada masa lalu sanak saudara dan keluarga terdekat aktif mengambil peran dalam mediasi konflik rumah tangga, kini peran tersebut semakin memudar.
“Sekarang, keluarga besar seakan hanya hadir pada proses pernikahan, tetapi enggan terlibat dalam proses mediasi perceraian,” ungkapnya. Hal ini diperburuk dengan melemahnya institusi adat, yang dulunya memiliki peran besar dalam menyelesaikan konflik rumah tangga secara damai.
Sebelumnya, Penjabat (Pj) Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Hj. Safriati, menyampaikan keprihatinannya atas peningkatan signifikan kasus perceraian di Aceh yang mencatatkan angka 5.000 kasus pada tahun 2023, meningkat tajam dibandingkan 3.000 kasus pada tahun 2022.
“Fenomena ini harus kita cegah bersama. Kasus perceraian yang terus meningkat ini bukan hanya masalah keluarga, tetapi sudah menjadi persoalan sosial yang lebih besar,” ujar Safriati dalam seminar bertajuk Pendidikan Keluarga yang digelar di Gedung Serbaguna Setda Aceh, Rabu (18/12/2024).
Dalam seminar tersebut, Safriati mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor utama yang memicu tingginya angka perceraian. Ia menilai pendidikan keluarga dan penguatan peran perempuan dalam rumah tangga sangat penting untuk mencegah fenomena ini. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah