Sunday, September 8, 2024
1

Jejak Panjang Ladang Minyak di Kabupaten Aceh Timur: Dari Masa Kolonial Belanda hingga Kini

NUKILAN.id | Banda Aceh – Sebuah tambang minyak ilegal di Gampong Alue Canang, Birem Bayeun, Aceh Timur, terbakar hebat pada 30 Mei 2024. Video yang beredar di media sosial memperlihatkan kobaran api raksasa menjulang tinggi ke udara, menimbulkan kepanikan di kalangan warga sekitar.

Menurut informasi yang dihimpun, tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Namun, api yang berkobar hebat itu telah memanggang banyak pohon dan kemungkinan juga binatang-binatang kecil di sekitarnya. Foto-foto jurnalisme warga menunjukkan tanaman-tanaman yang telah dilalap api, menambah suasana mencekam di lokasi kejadian.

Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Fadmi Ridwan, mengatakan ledakan sumur minyak di Gampong Alue Canang menghanguskan sekitar 1 hektare lahan. Fadmi juga mengatakan dampak material lainnya masih dalam pendataan.

Kabupaten Aceh Timur memang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan banyak sumur minyak rakyat. Di sini, warga secara mandiri mengelola sumur-sumur minyak dengan pengetahuan dan teknologi seadanya. Sejarah panjang tambang minyak di daerah ini mencakup masa kolonial Belanda hingga kini, menunjukkan bagaimana potensi sumber daya alam di Aceh Timur telah dimanfaatkan selama lebih dari satu abad.

Nukilan.id kali ini menyajikan kisah perjalanan panjang ladang minyak di Kabupaten Aceh Timur dari masa kolonial Belanda hingga masa kini.

Berdasarkan penelusuran Nukilan.id, sejarah awal eksploitasi minyak di Aceh Timur dimulai pada tahun 1883, ketika seorang pengusaha tembakau dari Langkat mendapatkan informasi dari penduduk Peureulak mengenai minyak tanah yang keluar secara alami dari tanah. Menurut buku Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (1985) karya Paul van ‘t Veer, pengusaha tersebut kemudian mendapatkan izin dari Sultan Peureulak untuk membuka tambang minyak.

Pada tahun 1895, Sultan Peureulak memberikan konsesi kepada Holland-Perlak Petroleum Maatschappij, perusahaan minyak Belanda. Eksplorasi minyak ini berlangsung dengan berbagai dinamika hingga akhir masa kolonial.

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, babak baru penambangan minyak dimulai di Aceh Timur. Jepang memaksa penduduk setempat untuk menambang minyak, membuka ratusan kilang minyak dalam dua tahun. Namun, minyak yang dihasilkan lebih banyak digunakan untuk kebutuhan militer Jepang daripada kebutuhan rakyat. Kondisi ini mempersulit penduduk mendapatkan minyak tanah, yang berdampak pada kehidupan sehari-hari, termasuk pendidikan agama.

Tim penulis buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1991) mencatat bahwa kesulitan mendapatkan minyak lampu membuat aktivitas di meunasah dan masjid-masjid berkurang drastis. “Pendidikan agama di rumah tangga amat lesu. Pendidikan agama di meunasah-meunasah kampung, masjid-masjid, juga amat sulit karena sukarnya mendapat minyak lampu,” tulis Muhammad Ibrahim dan kawan-kawan.

Setelah kapitulasi Jepang dan bergabungnya Aceh dengan Indonesia, sumur-sumur minyak dikelola oleh militer melalui institusi “Tambang Minjak N.R.I. Daerah Atjeh”. Pada masa ini, pengelolaan tambang tidak tertata dengan baik, dengan nepotisme merajalela. Tentara sering kali memasukkan anggota keluarga mereka yang tidak memiliki keahlian dalam administrasi pertambangan atau perminyakan.

Selama Orde Baru pada tahun 1970-an, beberapa tambang minyak di Aceh Timur sempat dikelola oleh perusahaan Amerika sebelum akhirnya dinasionalisasi dan sepenuhnya dikelola oleh Pertamina. Namun, kehadiran Pertamina tidak membawa kesejahteraan bagi penduduk setempat. Mereka tetap miskin meski tanah mereka menghasilkan minyak bagi negara.

Seiring berjalannya waktu, ledakan sumur minyak menjadi hal yang sering terjadi di Aceh Timur. Pada 28 November 1997, Desa Dalam di Kecamatan Karang Baru lenyap akibat ledakan sumur minyak milik Pertamina. Sebanyak 1.655 jiwa harus mengungsi akibat ledakan ini, yang merusak rumah-rumah dan mengeluarkan lumpur bercampur minyak dan gas dari bawah tanah. Kepala Operasi Eksplorasi dan Produksi Pertamina Rantau Kuala Simpang, Ir. Ambar Sudiono, menyatakan bahwa ledakan tersebut terjadi di luar perkiraan, meski pengeboran telah dilakukan berdasarkan riset yang matang.

Keadaan yang tak kunjung membaik mendorong warga untuk membuka tambang minyak secara mandiri, meskipun pengetahuan dan teknologi mereka terbatas. Hal ini menambah risiko ledakan sumur minyak.

Pada 25 April 2018, terjadi ledakan hebat di tambang minyak rakyat di Desa Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, menewaskan 22 orang. Peristiwa serupa kembali terjadi pada 11 Maret 2022 di Desa Mata Ie, kecamatan yang sama, menewaskan tiga orang.

Sejarah panjang tambang minyak di Aceh Timur, dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga era Indonesia, mencerminkan dinamika yang kompleks. Meskipun minyak menjadi sumber daya penting, pengelolaannya yang tidak optimal dan risiko keselamatan yang tinggi terus menjadi tantangan bagi penduduk setempat.

Reporter: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img