NUKILAN.id | Banda Aceh — Pasangan calon (paslon) Wali Kota Banda Aceh nomor urut 04, Teuku Irwan Djohan dan Khairul Amal, mengusung program inovatif untuk masa depan Banda Aceh. Dalam debat perdana yang digelar pada Rabu malam, 30 Oktober 2024, paslon ini memaparkan visi mereka menjadikan Banda Aceh sebagai kota yang layak huni, layak investasi, dan layak kunjung, salah satunya dengan mendirikan bioskop syariah.
Rencana ini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan tokoh agama di Aceh, yang selama ini dikenal dengan regulasi ketat terkait budaya dan hiburan berbasis syariah. Menanggapi hal ini, Nukilan.id menggelar wawancara lapangan untuk menggali pendapat warga terkait keberadaan bioskop syariah di Aceh.
Sebagian warga menyambut baik ide tersebut, dengan syarat bioskop diatur sesuai dengan nilai-nilai syariah. Mirza, seorang warga Banda Aceh, berpendapat bahwa sektor hiburan perlu dikembangkan di Aceh, mengingat selama ini masyarakat Aceh harus mengeluarkan uang di luar daerah untuk mendapatkan hiburan.
“Menurut aku perlu ada bioskop, itu hiburan kan, tinggal sesuaikan aja dengan kearifan lokal. Masa kita cari hiburan harus ke Medan, uang orang Aceh jadi habis ke luar,” kata Mirza kepada Nukilan.id, Senin (4/11/2024).
Dukungan senada disampaikan oleh Iqbal, seorang anak muda yang menilai bioskop syariah bisa jadi alternatif hiburan yang sehat bagi masyarakat.
“Anak muda butuh bioskop, tinggal dibuat kebijakannya, pisahkan laki-laki dan perempuan, sensor film yang tidak layak, kan selesai masalah,” ucap Iqbal.
Namun, tidak semua pihak sependapat. Bagi sebagian warga lainnya, bioskop dianggap berpotensi menghadirkan pengaruh yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal.
“Bioskop itu udah seperti sesuatu yang berbau maksiat, banyak orang yang pacaran ke sana, banyak hal yang nggak layak,” ujar Mauli, yang khawatir keberadaan bioskop akan memicu perilaku yang tidak sesuai syariah.
Pendapat ini didukung oleh beberapa warga lainnya yang merasa Banda Aceh sudah memiliki banyak alternatif hiburan.
“Nggak usah, tanpa bioskop juga banyak hiburan lain di Aceh. Ada mal, taman, lautnya juga bagus,” kata Susan yang memilih menolak ide bioskop syariah.
Sejumlah masyarakat lainnya cenderung bersikap netral. Mereka menilai bahwa kehadiran bioskop dapat diterima jika disikapi secara bijak oleh pemerintah.
“Aceh ini kan udah kuat syariahnya, makanya bioskop dulu ditiadakan. Sebenarnya, tergantung dari kita juga, kalau kita bisa menempatkan bioskop ini memang untuk hiburan dan bukan untuk maksiat, ya aku pikir boleh,” tutur Zulfikar.
Irwan Djohan dan Khairul Amal menyatakan bahwa bioskop syariah yang mereka gagas akan mengedepankan nilai-nilai lokal Aceh. Mereka berkomitmen memastikan tempat hiburan ini sejalan dengan aturan dan norma yang berlaku di Aceh.
Rencana ini menunjukkan betapa kompleksnya pembangunan sektor hiburan di Aceh, mengingat adanya perbedaan pandangan antara kebutuhan hiburan dan pemeliharaan nilai budaya serta agama. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah