Ini Sejarah Suku Gayo, Suku Terbesar Kedua di Aceh

Share

Nukilan.id  – Daratan Tinggi Gayo merupakan daerah di sekitar Danau Laut Tawar,  Provinsi  Aceh. Dataran tinggi itu berada di ketinggian 600 sampai 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Dikutip dari Suku-suku Bangsa di Sumatera Karya Giyanto, Dataran Tinggi Gayo menjadi permukiman dari Suku Gayo. Suku ini merupakan suku asli yang mendiami Provinsi Aceh.

Suku Gayo merupakan suku terbesar kedua yang ada di Aceh setelah Suku Aceh yang mendiami wilayah pesisir.

Sejarah Suku Gayo

Menurut masyarakat setempat, nama Gayo berasal dari kata pegayon yang berarti sumber air jernih tempat ikan suci dan kepiting.

“Sampai saat ini, sejarah suku bangsa Gayo belum terungkap secara pasti. Belum ditemukan sumber sejarah yang bisa menjadi rujukan asal mula suku bangsa Gayo,” tulis Giyanto dalam bukunya.

Akan tetapi, keberadaan suku ini kerap kali dihubungkan dengan Kerajaan Linge. Kerajaan ini berdiri sekitar tahun 416 Hijriyah (H) atau 1025 Masehi (M).

Dilansir dari Resam Perkawinan Masyarakat Gayo karya Ista Tantawi, sebelum kemerdekaan Indonesia, salah satu subsuku Gayo, yakni Gayo Lues merupakan wilayah kekuasaan kerajaan. Kerajaan yang oleh masayarakat setempat disebut reje itu memiliki beberapa raja.

Reje Gele memimpin 12 kampung dan berkedudukan di bagian barat Blangkejeren. Ada pula Reje Rema yang memimpin 11 kampung dan berkedudukan di Kute Panyang.

Reje Bukit merupakan raja yang memimpin 7 kampung dan berkedudukan di bagian timur Blangkejeren. Yang terakhir ada Reje Kemala yang memimpin 13 kampung dan berkedudukan di Rikit Gaib.

Keempat wilayah yang dipimpin oleh para raja tersebut dipercayai menjadi cikal bakal lahirnya Suku Gayo Lues.

Dilansir dari Islam dan Budaya Masyarakat Gayo Provinsi Aceh: Kajian Sejarah dan Sosial karya Arfiansyah, Gayo pertama kali muncul dalam literatur Melayu “Hikayat Raja-raja Pasai”.

Hikayat itu berisi cerita tentang para raja Aceh yang berkuasa sejak tahun 1280 sampai 1400. Sejarah suku Gayo dalam versi literatur melayu tersebut berkaitan erat dengan penolakan masyarakat setempat untuk masuk Islam.

Menurut Hikayat ini, masyarakat tersebut melarikan diri dengan mengikuti arah Sungai Peusangan ke hulu. Kelompok yang melarikan diri inilah yang kemudian disebut sebagai orang Gayo.

“Kata Gayo diyakini sebagai modifikasi kata dari etnis Aceh yang berasal dari kata ka yo yang berarti takut,” jelas Arfiansyah.

Setelah berhasil melarikan diri ke wilayah dataran tinggi di hulu sungai, kelompok ini masuk Islam dengan keinginannya sendiri. Kelompok inilah yang diyakini menjadi cikal bakal dari Suku Gayo.

Subsuku Gayo dan wilayah persebarannya

Suku Gayo terdiri dari tiga subsuku, yaitu Gayo Laut, Gayo Lues, dan Gayo Blang. Ada lima wilayah kabupaten yang menjadi persebaran ketiga subsuku tersebut.

Gayo Laut mendiami wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Subsuku ini bermukim di daerah Takengon, Linge, Bebesan, Pegasing, dan Bintang di Kabupaten Aceh Tengah.

Sementara wilayah Kabupaten Bener Meriah yang menjadi tempat bermukimnya Gayo Laut meliputi daerah Redelong, Pondok Baru, Wih Pesam, dan Timang Gajah.

Gayo Lues mendiami daerah Kabupaten Gayo Lues yang meiputi wilayah Blangkejeren, Rikit, Tenrangun, dan Kuta Panjang. Subsuku ini juga mendiami sebagian wilayah dari Kabupaten Aceh Tenggara.

Subsuku terakhir adalah Gayo Blang yang mendiami sebagian wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Tamiang.

“Masyarakat suku bangsa Gayo hidup berkelompok dalam komunitas kecil yang disebut kampong dan dikepalai oleh seorang gecik,” jelas Giyanto.

Dalam rujukan lain yang ditulis oleh Ista Tantawi, disebutkan bahwa Suku Gayo juga mendiami sebagian wilayah Kabupaten Aceh Timur. Wilayah tersebut ditinggali oleh Subsuku Gayo Lues.

Bahasa dan mata pencaharaian masyarakat Gayo

Masayarakat Suku Gayo menggunakan bahasa Gayo daam percakapan sehari-hari. Masing-masing wilayah memiliki dialek berbeda dalam mengucapkan bahasa Gayo.

Gayo Laut memiliki dua subdialek, yaitu Lut dan Deret. Gayo Lues memiliki tiga subdialek yaitu Lues, Kalul, dan Lokop.

Dikutip dari Pola Komunikasi dan Stratifikasi dalam Budaya Tutur Masyarakat Gayo karya Marhamah, Bahasa Gayo yang digunakan suku ini berbeda dengan bahasa Aceh yang digunakan Suku Aceh.

“Mata pencaharian utama masyarakat Gayo adalah bertani. Mayoritas masyarakat lGayo sebagai petani kopi,” terang Giyanto.

Dataran Tinggi Gayo terkenal dengan produk kopi. Hampir seluruh wilayah dataran tinggi ini menjadi perkebunan kopi yang sentra utamanya berada di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.

“Selain bertani, masyarakat Gayo juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun,” imbuh Giyanto.

Agama Suku Gayo

Mayoritas Suku Gayo beragama Islam seperti kebanyakan masyarakat Aceh. Menurut Giyanto, sekitar 95 persen anggota Suku Gayo merupakan penganut Islam.

Setiap kampung di Dataran Tinggi gayo memiliki meunasah, surau, atau masjid yang menjadi pusat aktivitas beragama.

“Masyarakat Gayo sangat fanatik terhadap Agama Islam, sehingga adat, budaya, dan sistem pendidikan semua berlandaskan Agama Islam,” tulis Sofyan Abdi dalam jurnalnya berjudul Konsep Nilai Islam dalam Nilai Mukemel dalam Sistem Budaya Suku Gayo.

Dilansir dari tulisan Arfiansyah, menurut seorag peneliti bernama John R Bowen Masyarakat menyatakan bahwa Gayo telah mengadaptasi ajaran Islam ke dalam budaya asli mereka.

Islam telah dielaborasi lebih jauh ke dalam tradisi-tradidi lokal, seperti pengobatan dan perdukunan. Mereka juga membentuk konsep pengetahuan metafisika dengan mengambil sumber dari ajaran Islam.

Masuknya Islam ke Suku Gayo diyakini berdekatan dengan masa kepemimpinan Sulatan Iskandar Muda pada abad ke-17.

Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan bahwa masayarakat Gayo telah mengenal sultan dan menjadi muslim sebelum kedatangan Iskandar Muda ke daerah tersebut.

Rumah adat Suku Gayo 

Dikutip dari “Tipologi Arsitektur Tradisional Gayo” karha Salwin, Suku Gayo memiliki rumah adat yang biasa disebut Umah Gayo.

Masyarakat asli Gayo menyebut rumah tempat tinggal mereka dengan sebutan yang berbeda, tergantung pada bentuk bangunan, jumlah ruang, dan bentuk atapnya.

“Rumah bagi masyarakat Gayo dahulu tidak memiliki perbedaan yang khusus antara rumah raja dan keturungan bangsawan dengan rumah masyarakat biasa, baik dari bentuk, ukuran maupun ornamen-ornamennya,” jelas Salwin.

Rumah tradisional Suku Gayo yang ditemukan umumnya memiliki 5 sampai 9 ruang. Jumlah ruangan ini kemungkinan menujukka jumlah keluarga di rumah itu.

Satu ruangan dalam rumah tersebut biasanya ditempati satu keluar inti terdiri dari ayah, ibu, dan anaka. Ruangan ini disebut dengan Umah Rinung.

Umah Time Ruang merupakan sebutan untuk salah satu tipe rumah di Suku Gayo. Rumah ini memiliki pembagian ruangan yang simetris atau seimbang. Tipe rumah ini memiliki tangga masuk di sisi samping bangunan yang menjadi jalur masuk tunggal ke dalam rumah.

Dua deret Umah Rinung dibangun tepat di tengah bangunan. Ruangan tersebut dibangun bertolak belakang dengan setip kamar menghadap serambi yang juga difungsikan sebagai dapur.

Selain Umah Time Ruang, ada juga Umah Belah Rang atau Umah Belah Bubung. Jenis rumah ini hanya memiliki satu deret umah rinung dengan pintu yang menghadapp ke serambi.

Umah Pitu Ruang adalah rumah Gayo yang memiliki 7 buah ruangan di dalamnya. Rumah ini memiliki 6 buah umah rinung dan satu serambi.

Secara umum, rumah adat Suku Gaya berbentuk rumah panggung. Rumah-rumah ini dibangun memanjang dari arah timur ke barat.[kompas.com]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News