NUKILAN.id | Banda Aceh – Hutan mangrove di Provinsi Aceh kini menghadapi ancaman serius akibat ulah manusia dan perubahan iklim. Kawasan pesisir yang dulunya menjadi benteng alam dan rumah bagi berbagai spesies kini kian tergerus oleh aktivitas penebangan, konversi lahan, dan pembangunan infrastruktur. Hal ini diungkapkan oleh Yusmadi Yusuf dari Wyland Foundation dalam sebuah talkshow di Pro2 RRI Banda Aceh, Minggu (11/8/2024).
Wyland Foundation, lembaga yang berfokus pada kampanye pelestarian lahan basah, termasuk mangrove, telah lama mengamati kondisi kritis ini. “Hutan mangrove memainkan peran penting dalam melindungi pesisir dan mendukung keanekaragaman hayati di Aceh,” jelas Yusmadi. Ia menambahkan bahwa Aceh memiliki kawasan mangrove yang tersebar di berbagai kabupaten, termasuk Aceh Timur, Aceh Singkil, Banda Aceh, Aceh Selatan, dan Aceh Jaya.
Aceh Timur, khususnya di sekitar Langsa dan Tamiang, merupakan salah satu wilayah dengan hutan mangrove terluas. Namun, kawasan ini juga menjadi yang paling rentan terhadap konversi lahan untuk tambak perikanan dan penebangan kayu arang.
“Di Aceh Timur, banyak hutan mangrove yang diubah menjadi lahan tambak,” kata Yusmadi. Praktik ini, tambahnya, masih lazim dilakukan, terutama untuk memproduksi kayu arang bakau yang dijual keluar Aceh.
Kondisi serupa terjadi di Aceh Singkil, di mana hutan mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi dan habitat bagi berbagai spesies. Namun, perubahan penggunaan lahan dan deforestasi terus menjadi tantangan utama.
Di Banda Aceh, hutan mangrove yang dulunya membentang luas kini sebagian besar telah dikonversi menjadi kawasan pemukiman dan komersial. “Pembangunan perumahan di lahan basah sangat berpotensi merusak sisa-sisa hutan mangrove yang ada,” ungkap Yusmadi.
Aceh Selatan dan Aceh Jaya juga tak luput dari masalah ini. Penurunan kualitas habitat akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia semakin memperparah kondisi hutan mangrove di wilayah tersebut.
Aktivitas manusia seperti penebangan kayu untuk arang dan konversi lahan menjadi tambak perikanan merupakan ancaman utama bagi kelestarian hutan mangrove di Aceh.
“Penebangan untuk dapur arang masih dipraktikkan hingga hari ini di Langsa, Aceh Timur, dan Tamiang,” tegas Yusmadi.
Selain itu, pembangunan infrastruktur juga menjadi ancaman serius. Di kawasan pesisir Banda Aceh, pengembangan perumahan dan infrastruktur sering kali mengabaikan fungsi ekologis mangrove.
“Contohnya di Lam Dingin dan Tibang, Banda Aceh, hutan mangrove telah diubah menjadi komplek perumahan,” jelasnya.
Ancaman lain yang tidak kalah penting adalah perubahan iklim. Kenaikan permukaan laut dan perubahan pola hujan turut mempengaruhi ekosistem mangrove.
“Adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan hutan mangrove,” ujar Yusmadi.
Di tengah ancaman yang mengintai, Yusmadi menyatakan harapannya agar pemerintah dan berbagai organisasi lingkungan di Aceh semakin gencar melakukan upaya konservasi dan restorasi hutan mangrove. Program penanaman kembali, perlindungan kawasan, dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mangrove menjadi langkah penting yang harus terus digalakkan.
“Sebaran hutan mangrove di Aceh menunjukkan betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan berkelanjutan untuk memastikan kelestarian ekosistem yang vital ini bagi masa depan lingkungan dan masyarakat pesisir,” pungkasnya.
Editor: Akil