Hasil Kajian RPA 2023-2026, BSUIA: IPM Perempuan Lebih Rendah Dibandingkan Laki-Laki

Share

Nukilan.id – Seperti diketahui periode kepemimpinan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah periode 2017-2022 akan segera berakhir, dan Aceh akan dipimpin oleh Penjabat (Pj) Gubernur yang ditunjuk langsung Pemerintah Pusat.

Sementara Badan Pembangunan Perencanaan Daerah (Bappeda) telah mempersiapkan Rencana Pembangunan Aceh (RPA) tahun 2023 – 2026, sebagai panduan dalam menjalankan proses pembangunan Aceh, dalam hal ini penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Aceh (Renstra SKPA) tahun 2023-2026 dan Rencana
Pembangunan Tahunan Aceh (RKPA) setiap tahunnya, mulai dari tahun 2023 s.d 2026.

Menanggapi hal itu, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Rasyidah menjelaskan, bahwa berdasarkan hasil kajian awal yang dilakukan oleh BSUIA
terhadap Dokumen RPA 2023-2026, diketahui bahwa adanya kesenjangan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh sepanjang tahun 2016-2020.

“Pasalnya, IPM perempuan lebih rendah dibanding laki-laki,”  kata Dr. Rasyidah yang juga seorang Akademisi UIN Ar-Raniry dalam Musyawarah Besar perempuan Aceh untuk pembangunan secara daring, Kamis (19/5/2022).

Lanjutnya, RPA 2023-2026 juga memotret kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak, dengan data yang terpilah berdasarkan bentuk kekerasan yang terjadi.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dinilai sebagai kasus dominan yang dilaporkan, dan kekerasan seksual sebagai kasus yang dominan terjadi terhadap anak.

Meski berbagai persoalan krusial yang berkaitan dengan kualitas sumber daya perempuan muncul dalam Gambaran Umum Permasalahan yang dipaparkan dalam Dokumen RPA 2023-2026. Namun, kata dia, penyusunan dokumen ini sendiri belum sepenuhnya melibatkan partisipasi kelompok perempuan.

“Kehadiran perempuan sangat minim dalam 2 kali konsultasi publik yang dilakukan. Padalah jika mengacu kepada Pasal 22 ayat (1) Qanun Aceh tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, Pemerintah Aceh telah menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam setiap proses pembuatan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan,” jelas Rasyidah.

Kemudian, kata dia, hak perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan telah dinyatakan tegas dalam
sejumlah peraturan Perundang-Undangan baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu, prinsip “tidak meninggalkan satu orangpun (leave no one behind)” juga dinyatakan dengan tegas
dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (SDGs).

Prinsip ini ditujukan untuk menjawab 2 hal yaitu: 1) keadilan procedural (sejauh apa semua pihak terutama yang selama ini tertinggal dapat terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan dan 2) keadilan substansi (sejauh mana kebijakan dan program pembangunan dapat atau mampu menjawab persoalan-persoalan warga terutama kelompok tertinggal).

Adapun Musyawarah Besar Perempuan Aceh ini bertujuan untuk:

  1. Tersedianya ruang bagi perempuan Aceh untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan Aceh dan merefleksikan proses penyusunan Rencana Pembangunan Aceh
    (RPA) 2023-2026;
  2. Terindentifikasinya persoalan-persoalan krusial dalam Rencana Pembangunan Aceh (RPA) 2023-2026 dari Perspektif Perempuan;
  3. Tersusunnya dokumen advokasi pembangunan Aceh yang responsife dan adil gender.

Selanjutnya, melalui Musyawarah Besar Perempuan Aceh diharapkan tersedia ruang bagi perempuan Aceh di 23 Kabupaten/kota untuk menyampaikan pandangan kritisnya terhadap rencana pembangunan Aceh berbasis Dokumen Rencanan Pembangunan Aceh (RPA) 2023-2026.

Pandangan kritis tersebut akan dituangkan dalam sebuah dokumen yang dapat digunakan untuk mengadvokasi
pembangunan Aceh yang resposif gender, baik di tingkat nasional maupun daerah.

“Sedangkan dari Pihak DPRA tidak sempat berhadir karena ada halangan cuma menyampaikan pandangannya secara tertulis saja,” pungkas Rasyidah.

Reporter: Hadiansyah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News