Nukilan.id – Sebuah video viral di media sosial X yang dibagikan akun @aingriwehuy. Video tersebut menunjukkan sejumlah anak-anak yang sedang berada di dalam sebuah masjid menjadi korban gas air mata yang ditembakkan pihak kepolisian saat membubarkan demonstrasi di Semarang, Jawa Tengah. Mereka terpaksa menutupi area hidung dan mulut usai terkena gas air mata.
Dalam video tersebut tampak beberapa orang dewasa sedang mengoleskan pasta gigi di area muka anak-anak tersebut untuk mengurangi dampak dari gas air mata yang dirasakan. Sejumlah mahasiswa juga tampak ikut berlindung dalam masjid tersebut.
“Kondisi ketika anak anak tpq yang mau ngaji juga terkena Gas Air Mata Di Semarang‼️ Ini berlebihan banget aparat seenaknya gunain Gas Air Mata, ini anak mau ngaji lho pak‼️ KAWAL SAMPAI MENANG!!” cuit akun tersebut, Senin (26/8/2024).
Pantauan Nukilan, hingga berita ini ditayangkan, video tersebut sudah ditonton oleh 1,3 juta orang, mendapatkan 39 ribu like, dan di-repost oleh 25 ribu akun media sosial X. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pihak mengkritik tindakan aparat yang menggunakan senjata gas air mata hingga berdampak kepada masyarakat sekitar, terutama anak-anak.
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPI) juga mengkritik kasus serupa, yaitu penembakan gas air mata di dekat sekolah yang berjarak sekitar 30 meter di SDN 24 dan SMPN 22 Pulau Rempang, Kota Batam sehingga mengakibatkan kepanikan, ketakutan, serta luka fisik pada anak. Kejadian ini merupakan dampak dari aksi protes warga terkait proses pengukuran pengembangan Kawasan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang berlangsung ricuh pada Kamis (7/9/2023) lalu.
KPAI menilai tindakan tersebut merupakan kekerasaan pada anak yang mengakibatkan penderitaan psikis dan fisik yang berdampak pada terhambatnya pemenuhan hak pendidikan anak.
“Sikap aparat di sekitar sekolah tentu mengganggu pembelajaran dan mengakibatkan beberapa siswa berjatuhan karena sesak nafas. Hal ini menjadi suatu kelalaian aparat dalam melerai kerusuhan di sekitar lingkungan pendidikan,” ujar anggota KPAI, Diyah Puspitarini dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/9/2024).
Komunitas internasional melalui Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons, OPCW) telah merancang traktat pengendalian senjata yang melarang produksi, penimbunan, dan penggunaan senjata kimia dan prekursornya dengan nama Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and on their Destruction atau yang lebih dikenal sebagai Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention, CWC). Traktat ini mulai berlaku sejak 1997.
CWC melarang penggunaan, pengembangan, produksi, penimbunan, dan pemindahan senjata kimia berskala besar yang salah satunya gas air mata. Per 2018, sebanyak 193 negara telah menjadi anggota CWC dan menyetujui kewajibannya. Salah satunya Indonesia yang sudah meratifikasi konvensi ini pada 30 September 1998 melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia Serta Tentang Pemusnahannya.
Menguras Anggaran Negara
Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Trend Asia menunjukkan sepanjang 2015-2022 terdapat 144 kasus penembakan gas air mata oleh polisi. Dalam riset yang sama disebutkan bahwa total anggaran yang telah dihabiskan untuk pengadaan gas air mata sejak 2013-2022 mencapai Rp2,01 triliun. Jumlah ini mencakup 45 kegiatan pembelajaan seperti amunisi, pelontar, dan drone. Pada 2022, Polri memiliki anggaran sebesar Rp49 miliar untuk pengadaan 1.857 unit pepper projectile launcher.
Lalu dalam rentang Desember 2023 hingga Februari 2024, ICW menyebutkan Polri menghabiskan anggaran senilai Rp188,9 miliar untuk pembelian gas air mata dan perlengkapannya sebanyak lima kali pembelanjaan.
Permohonan informasi publik dari koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari ICW, Trend Asia, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) kepada Polri agar membuka informasi terkait sepuluh kontrak pembelian gas air mata ditolak Polri. Koalisi pun lantas melayangkan permohonan penyelesaian sengketa informasi terkait sikap Polri ini ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengatakan, berdasarkan Peraturan Kapolri tentang Penindakan Huru-hara dan Prosedur Kapolri tentang Penanggulangan Anarki, penggunaan gas air mata bukanlah menjadi pilihan pertama dalam mengambil tindakan saat menghadapi keadaan huru-hara.
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang terdiri dari YLBHI, PBHI, KontraS, AJI Indonesia, ICW, ICJR, Kurawal, WALHI, LBH Masyarakat, IMPARSIAL, YLBHI-LBH Pekanbaru, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), WALHI Riau, dan KIARA pada 11 September 2023 lalu telah mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar menghentikan penggunaan gas air mata dalam menghadapi demonstran. Selain itu, Aliansi juga meminta Presiden melakukan pemotongan anggaran Polri 2024 sebagai bentuk pendisiplinan bagi kepolisian yang telah menggunakan perangkat mereka untuk merepresi masyarakat.
Demo #ReformasiDikorupsi 2019
Dalam laporan 2 Tahun #Reformasidikorupsi dan Keruhnya Ekosistem Hukum Indonesia disebutkan bahwa Aksi #ReformasiDikorupsi merupakan puncak tertinggi penolakan publik terhadap agenda legislasi DPR dan pemerintah sesudah Reformasi 1998.
Pada akhir September 2019 silam, puluhan ribu mahasiswa di hampir semua provinsi melakukan aksi demonstrasi di jalanan dengan tagar #ReformasiDikorupsi. Awalnya aksi ini hanya terjadi di Jakarta. Namun belakangan mulai meluas ke daerah-daerah lain di Indonesia.
Mereka menuntut pembatalan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU KPK dan penghentian pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) serta beberapa RUU lain yang dianggap bermasalah. Ada tujuh tuntutan yang disampaikan demonstran saat itu.
Namun, aparat kepolisian merespons aksi demonstrasi ini dengan kebrutalan. Polisi dengan brutal merepresi para demonstran dengan menembakkan gas air mata, meriam air, hingga peluru karet.
Di Jakarta saja, sebanyak 90 demonstran terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Tiga di antaranya mengalami luka serius di kepala sehingga harus menjalani perawatan intensif. Sementara korban luka lainnya di daerah tak bisa dipastikan berapa banyak. LBH Pers Jakarta juga mencatat setidaknya ada empat kasus yang dilaporkan pihaknya ke kepolisian terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis selama meliput aksi demonstrasi tersebut.
KontraS menyebutkan ada lima orang yang meninggal akibat represi aparat selama aksi “ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu. Kelima korban tersebut adalah Yusuf Kardawi dan Immawan Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO); Maulana Suryadi, pemuda asal Tanah Abang; dan Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra yang sama-sama berstatus pelajar.
Sementara data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM menyebutkan setidaknya 52 orang meninggal dalam aksi demonstrasi yang dilakukan sepanjang tahun 2019. Hal yang sebenarnya tak perlu terjadi jika pihak kepolisian tak melakukan aksi brutal dan represif terhadap massa.
Tragedi Kanjuruhan 2022
Hampir dua tahun yang lalu tragedi Kanjuruhan terjadi, tepatnya pada Sabtu (1/10/2022) lalu. Insiden fatal itu terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang setelah pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya dalam lanjutan Liga 1 yang berakhir dengan kekalahan 2-3 Arema dari Persebaya. Hal ini membuat sekumpulan penonton berkerumun di dalam lapangan hijau.
Sayangnya, aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Akses stadion yang tak mampu menampung ribuan orang dalam waktu bersamaan membuat penonton terjebak di ambang pintu keluar arena.
Penonton yang berdesak-desakan berebut keluar lapangan diperparah dengan tembakan gas air mata dari aparat kepolisian. 135 orang dilaporkan tewas. Selain itu, korban luka-luka juga banyak yang berjatuhan. Rata-rata korban luka mengalami masalah rusaknya penglihatan dan pernapasan.
YLBHI dan LBH menduga menduga bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. Padahal FIFA sendiri sudah jelas melarang penggunaan gas air mata untuk mengamankan massa dalam stadion.
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo bahkan saat itu mengakui temuan yang menyatakan bahwa aparat kepolisian menggunakan gas air mata yang sudah kedaluarsa. Padahal penggunaan gas air mata saja sudah bermasalah, apalagi yang sudah kedaluarsa.
Hasil riset yang dilakukan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bersama Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyebutkan bahwa penggunaan gas air mata kedaluwarsa dalam tragedi Kanjuruhan lebih beracun dan bisa berubah menjadi gas sianida. Hal ini membantah keterangan Irjen Dedi Prasetyo yang sebelumnya mengatakan bahwa senyawa gas air mata yang sudah kedaluarsa menyebabkan zat kimianya semakin menurun.
“Justru penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa dapat terurai menjadi gas sianida, fosgen, dan nitrogen, membuatnya jauh lebih berbahaya dan beracun bagi manusia,” demikian ditulis dalam laporan riset tersebut, dikutip dari Kompas, Jumat (30/6/2023).
Demo #KawalPutusanMK 2024
Aksi demonstrasi teranyar dilakukan demonstran dengan tagar #PeringatanDarurat dan #KawalPutusanMK sejak Kamis (22/8/2024) lalu. Aksi ini bermula dari sikap DPR dan pemerintah yang hendak menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024. Putusan ini mengatur tentang perubahan syarat pencalonan kepala daerah dan ambang batas pencalonan untuk partai yang tidak memiliki kursi DPRD dari yang sebelumnya 20 persen menjadi 7,5 persen.
Anggota DPR menyikapi putusan ini dengan melakukan rapat pembahasan RUU Pilkada melalui Badan Legislasi (Baleg). Hal ini dilakukan untuk memuluskan manuver anak Presiden Jokowi yang juga Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep untuk maju sebagai calon wakil gubernur yang sebelumnya diisukan untuk Pilkada 2024.
Namun, elemen masyarakat menolak keras upaya ini dan tidak menginginkan dinasti keluarga Jokowi bercokol di Indonesia. Karena itu, mereka mendesak agar DPR dan KPU mematuhi putusan MK. Aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia sejak Kamis (22/8/2024) lalu itu ditanggapi aparat kepolisian dengan kekerasan dan represi seperti demo-demo sebelumnya.
Puluhan mahasiswa ditangkap polisi dalam aksi tersebut. Polda Metro Jaya menyebutkan pihaknya telah menangkap lebih dari 300 orang peserta aksi demonstrasi di Gedung DPR pada Kamis (22/8/2024). Sementara 32 orang mahasiswa ditangkap polisi saat melakukan aksi demonstrasi di tiga lokasi berbeda di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (26/8/2024).
Sedangkan di Banda Aceh, sebagaimana diberitakan Nukilan, sebanyak lima orang ditangkap polisi dari Polrestabes Banda Aceh saat melakukan aksi demonstrasi di depan kantor DPRA, Jumat (23/8/2024). Salah seorang di antaranya adalah pengacara publik LBH Banda Aceh, Rahmad Maulidin. Sementara penangkapan di berbagai daerah lainnya masih banyak yang tidak terungkap.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menerima setidaknya 51 pengaduan terkait praktik kekerasan aparat polisi selama aksi demonstrasi di depan Gedung DPR pada Kamis (22/8/2024). AJI dan LBH Pers juga mencatat setidaknya 11 jurnalis menjadi korban kekerasan oleh aparat keamanan selama meliput aksi demonstrasi yang melibatkan tindakan fisik, ancaman pembunuhan, dan penggunaan kekuatan berlebihan seperti gas air mata.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan tindakan represif aparat kepolisian terhadap demonstran jelas melanggar HAM dan berbahaya bagi keselamatan warga, terutama anak-anak yang terkena dampaknya.
“Sekali lagi, satu kata: brutal! Kekerasan yang kembali dilakukan aparat keamanan sulit untuk ditoleransi. Penggunaan gas air mata yang tidak perlu dan tidak terkendali hingga pemukulan menyebabkan banyak korban sipil, termasuk anak-anak di bawah umur,” ujar Usman Hamid dalam keterangan tertulis Amnesty International Indonesia, Selasa (27/8/2024).
Sementara Komnas HAM RI mendesak Polda mengevaluasi penanganan aksi demonstrasi di berbagai daerah seperti di Makassar, Sulawesi Selatan dan Semarang, Jawa Tengah yang terjadi pada Senin (26/8/2024) malam.
Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro mengatakan aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah semakin memanas setelah aparat menggunakan gas air mata, melakukan penangkapan terhadap peserta aksi, serta dugaan melakukan sweeping hingga masuk area mall.
“Penggunaan kekuatan berlebih dan/atau kekerasan dalam menangani aksi demonstrasi berisiko melanggar HAM, khususnya dalam hal ini pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat serta berekspresi yang dijamin konstitusi dan UU HAM,” demikian disampaikan Atnike Nova Sigiro dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/8/2024). ***
Reporter: Sammy