NUKILAN.id | Banda Aceh – Jika Anda berkunjung ke Museum Tsunami Aceh, jangan lewatkan kesempatan untuk singgah di salah satu ruangan yang penuh makna: Galeri Perdamaian Aceh. Ruangan ini menyimpan banyak bukti autentik dari peristiwa bersejarah yang mengakhiri konflik berkepanjangan di Aceh, yakni penandatanganan MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Finlandia.
Galeri ini berada tepat di samping ruangan galeri USAID, lembaga yang turut membantu Aceh bangkit pascatsunami. Begitu memasuki ruangan, pengunjung akan disambut oleh jejak-jejak berharga dari perundingan damai yang dilakukan sejak 27 Januari 2005 hingga akhirnya mencapai kesepakatan pada Agustus 2005. Foto-foto bersejarah, dokumentasi pertemuan formal, dan simbolisasi perjanjian tertata rapi di dalam galeri.
Dalam kesepakatan tersebut, pemerintah Indonesia diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Farid Husain, Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja. Sementara itu, pihak GAM diwakili oleh Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M. Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah. MoU Helsinki menjadi titik balik bagi masyarakat Aceh yang telah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang konflik dan operasi militer.
Perjalanan Panjang Menuju Damai
Galeri Perdamaian menyajikan rangkaian foto dan dokumentasi yang mencerminkan proses perundingan, termasuk momen bersejarah pengumpulan senjata dari pihak GAM yang kemudian dimusnahkan sebagai simbol berakhirnya konflik. Foto-foto tersebut menjadi bukti nyata bahwa perdamaian dapat dicapai melalui dialog dan komitmen kedua belah pihak.
Salah satu sudut ruangan juga menampilkan tema “Rekonstruksi Dalam Damai”. Di sini, pengunjung bisa melihat kerja sama semua elemen masyarakat dalam membangun kembali Aceh pascatsunami. Ada foto ikonik mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton yang tengah mengenakan kaus dan celana jeans, berjalan menyusuri lokasi terdampak bencana. Kehadiran tokoh dunia ini menunjukkan besarnya perhatian internasional terhadap Aceh, baik dalam proses rehabilitasi pascatsunami maupun dalam mendukung perdamaian.
Setelah bencana tsunami melanda pada 26 Desember 2004, Aceh menjadi lebih terbuka bagi dunia. Berbagai lembaga internasional dan NGO datang membawa misi kemanusiaan, beriringan dengan upaya Pemerintah Indonesia melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang bekerja keras membangun kembali Aceh. Perdamaian dan rekonstruksi berjalan beriringan, memberikan harapan baru bagi masyarakat yang sempat dirundung duka.
Kenangan Peristiwa Bersejarah
Bagi sebagian pengunjung, Galeri Perdamaian Aceh bukan sekadar tempat untuk melihat koleksi foto dan dokumentasi. Galeri ini mengingatkan pada perjalanan panjang dan penuh luka yang akhirnya berbuah manis. Salah satunya adalah peristiwa penahanan wartawan RCTI, Ersa Siregar, oleh sekelompok GAM di bawah pimpinan Ishak Daud pada 2004. Peristiwa ini menjadi salah satu liputan paling dramatis di media kala itu, hingga akhirnya berujung tragis.
Namun, hanya empat bulan berselang, tsunami besar meluluhlantakkan Aceh. Bencana ini seakan menjadi titik balik yang membuka pintu bagi perundingan damai. Konflik yang telah berlangsung sejak 1976 dan memuncak pada operasi militer di akhir 1980-an akhirnya bisa dihentikan total.
Harapan di Balik Perdamaian
Bagi masyarakat Aceh, Galeri Perdamaian di Museum Tsunami bukan hanya tempat mengenang peristiwa bersejarah, tetapi juga sarana untuk merenungi hikmah di balik musibah. Konflik yang dulunya menjadi “duri dalam daging” berhasil dicabut melalui dialog dan kesepakatan yang didukung oleh dunia internasional.
Meski masih ada beberapa poin dari MoU Helsinki yang belum sepenuhnya terealisasi, perdamaian telah membawa banyak perubahan positif. Status otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh membuka peluang besar untuk provinsi ini tumbuh lebih kokoh dan berkembang, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Galeri ini mengingatkan kita bahwa di balik bencana dan konflik, ada hikmah besar yang bisa diambil. Perdamaian bukan sekadar kata, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen, keberanian, dan kebersamaan. Bagi siapa saja yang ingin menyelami sejarah Aceh, Galeri Perdamaian di Museum Tsunami adalah tempat yang patut dikunjungi.
Salah satu pengunjung, Rahmawat, mengungkapkan perasaannya setelah melihat koleksi di galeri ini. Ia mengunkapkan bahwa setiap foto di sini mengingatkannya pada masa sulit Aceh.
“Saya masih ingat bagaimana keluarga saya dulu hidup dalam ketakutan saat konflik. Tapi sekarang, melihat perdamaian yang sudah tercapai, rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan,” katanya kepada Nukilan.id, Minggu (15/12/2024).
Rahmawati juga menambahkan bahwa galeri ini menjadi pengingat penting bagi generasi muda.
“Anak-anak muda harus tahu bahwa perdamaian ini tidak datang begitu saja. Ada perjuangan panjang di baliknya. Kita harus menjaganya agar Aceh tidak kembali ke masa lalu,” ungkapnya. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah