NUKILAN.id | Banda Aceh — Dalam rangka mendorong pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, Flower Aceh dan Nonviolent Peaceforce mengadakan konsultasi publik selama dua hari, pada 1 dan 2 Desember 2024. Kegiatan ini didukung oleh Kedutaan Besar Belanda.
Acara yang berlangsung di Banda Aceh ini dipandu oleh dua tokoh berbeda. Pada hari pertama, Amrina Habibi, SH., M.Hum, selaku Kepala Bidang PHA Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, memimpin diskusi. Hari kedua dipandu oleh Khairani Arifin, SH., M.Hum, Ketua Pusat Studi HAM Universitas Syiah Kuala. Sesi ini juga menghadirkan Fajran Zain, tenaga ahli DPRA, sebagai narasumber.
Direktur Flower Aceh, Riswati, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk merefleksikan kondisi hak dan perlindungan perempuan dan anak di Aceh. Refleksi dilakukan melalui analisis data mengenai kekerasan, korban konflik, serta kondisi sosial-ekonomi di wilayah tersebut.
“Kami merumuskan kebijakan untuk mempercepat pemberdayaan, pemajuan, dan perlindungan perempuan serta anak di Aceh. Kebijakan tersebut nantinya akan diserahkan langsung kepada perwakilan pemerintah,” ujar Riswati, Senin (2/12/2024).
Selain itu, konsultasi publik ini membuka ruang kolaborasi bagi tokoh perempuan akar rumput, perwakilan kelompok anak, dan tokoh agama.
Dalam diskusi, terungkap bahwa partisipasi perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) masih minim. Namun, Kota Banda Aceh disebut sebagai pelopor dengan inisiatif Musrena, sebuah mekanisme khusus yang memberi ruang bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk berpartisipasi aktif.
Acara ini menghasilkan sejumlah rekomendasi kebijakan, termasuk langkah strategis untuk memajukan hak perempuan penyintas konflik. Riswati menyatakan bahwa dokumen kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak di Aceh, serta melindungi mereka dari risiko kekerasan.
Selain itu, pemerintah dan parlemen Aceh diharapkan berkomitmen penuh terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan anak.
“Kegiatan ini menjadi langkah penting untuk menjembatani tokoh perempuan akar rumput, penyintas konflik, perempuan muda, dan kelompok anak agar memperoleh akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang bermakna dalam perdamaian dan pembangunan di Aceh,” tambah Riswati.
Ia menutup acara dengan harapan besar terhadap hasil konsultasi ini. “Dengan hadirnya rekomendasi kebijakan dan komitmen para pemangku kepentingan, diharapkan pembangunan di Aceh ke depan semakin memperhatikan aspek partisipasi, inklusi, dan keadilan gender.”
Editor: Akil