Oleh: Amelia Nurhudaya
ABU NASR Muhammad Al-Farabi atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) atau Uzbekistan pada tahun 257 H atau 870 M. Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius. Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.
Saat Al-Farabi berusia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia belajar filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil ( Anatolia ) dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu Filsafat selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat.
Al-Farabi merupakan seseorang yang zuhud, hal ini dapat di lihat dari gaya hidupnya yang sederhana, Al-Farabi tinggal di dalam Istana Saif al-Daulah, yang merupakan tempat pertemuan ahli-ahli pengetahuan dan filsafat pada masa itu. Al-Farabi juga menguasai berbagai disiplin ilmu, hal didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya.
Al-Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles, sebagai bukti atas pemahaman Al-Farabi yang mendalam terhadap falsafah Aristoteles dimana ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Sina pernah membaca buku metafisika, karangan Aristoteles sebanyak lebih kurang empat puluh kali. Hampir saja seluruh buku itu dihafalnya, tapi tidak dipahaminya. Di dalam Tahqiq ghardhi Aristotalis fi Kitabi ma bada al-Thabiah menjelaskan maksud dan tujuan metafisika dari Aristoteles. Tatkala ia membaca buku 6 tersebut, segera ia dapat memahami hal-hal yang tadinya masih samar- samar . Karena mendalamnya pemikirannya tentang falsafah Aristoteles yang bergelar Muallim Awwal (Guru Pertama) dan Al-Farabi digelari orang dengan Muallim Tsani (Guru Kedua). Seolah-olah tugas Aristoteles dalam filsafat sudah selesai, maka untuk selanjutnya tugas tersebut diteruskan oleh Al-Farabi.
Al-Farabi mempunyai pertalian dengan teori-teorinya yang lain, baik yang mengenai psikologi, atau akhlak, atau politik. 10 Kitab Karya Al-Farabi di bidang politik Kitab fi al-Ijtimaat al-Madaniyah dan as-Siyasah al-Madaniyah dan Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Karya-karya politik al-Farabi ini memberikan pengaruh yang besar atas banyak pemikir muslim dan Yahudi, khususnya sejak abad ke-13 Ibnu Rusyd yang paling banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Farabi di bidang ini, membela tesis al-Farabi tentang kenabian dari serangan Al-Ghazali. Demikian pula Maimonides karya Al-Farabi yang paling kompit dan paling penting dibanding dengan tiga karya yang lainnya. Karya ini berhubungan dengan karya Republik Plato dan juga pada Etika Aristoteles Nichomachean Ethic. Karya ini juga memiliki struktur berbasisi teologis-metafisik. Judul lengkapnya adalah Mabadi Ara ahl al-Madinah al- Fadhilah ( the Opinions of the Citezens of the idea state ), menunjukkan terkaitan al-Farabi pada teori politik berbasis teologi-metafisik tersebut.
Filsafat Politik Al-Farabi
Al-Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti sebagian bentuk tindakan, cara hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Semua tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan hal tersebut, bagaimana yang mengatur memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat di teliti.
Ilmu politik juga menerangkan berbagai tujuan tindakan-tindakan, cara hidup itu adalah benar-benar kebahagiaan, sedangkan yang lainnya kebahagiaan padahal sebetulnya bukan, bahwa yang benar-benar kebahagian tidak mungkin dalam kehidupan sekarang ini, melainkan berada di kehidupan setelah sekarang, yaitu kehidupan akhirat. Sedangkan yang nampak seperti kebahagiaan terdiri dari hal-hal tertentu seperti kekayaan, kehormatan, kesenangan, apabila hal ini dijadikan tujuan dalam hidup sekarang.
Ilmu politik juga membeda-bedakan berbagai tindakan dan cara hidup serta menjelaskan bahwa apa yang terdapat di kebahagiaan sejati akan selalu berupa kebajikan-kebajikan, tindakan-tindakan mulia dan keutamaan-keutamaan, sedangkan yang lainnya ialah kejahatan, keburukan dan kehinaan. Hal-hal tersebut harus ada pada manusia sehinggga tindakan-tindakan dan cara hidup utama, terbagi merata diantara kota-kota dan bangsa-bangsa menurut suatu susunan tertentu dan dimanfaatkan secara bersama-sama. Ilmu politik menerangkan bahwa hal itu dapat terwujud hanya melalui kepemimpinan dengan mana pemimpin menegakkan tindakan-tindakan, cara hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak tersebut di kota-kota dan bangsa-bangsa.
Dalam struktur ilmu, Al-Farabi menempatkan ilmu politik sebagian dari pada ilmu praktis. Oleh karena itu, jika dilihat dari segi tema. konten keilmuan dan tujuan ilmu politik maka ilmu ini memiliki pengertian sebagai seni untuk meraih kebahagianan di dunia maupun di akhirat melalui kerja sama antara warga negara, kota ataupun desa. Ada tiga karya utama Al-Farabi yang memiliki kaitan langsung dengan tema politik Kitab Ara Ahl al-Madinah al Fadhilah, Kitab al-Syiyasah al-Madaniyah, Kitab al-Millat al-Fadhilah, Fushush al-Madani sementara karyanya mengenai konsep kebahagian berjudul Tahsil as-Saadah. Kitab al-Madinah al-Failah merupakan salah satu karya Al-Farabi yang paling kompit dan paling penting dibanding dengan tiga karya yang lainnya. Karya ini berhubungan dengan karya Republik Plato dan juga pada Etika Aristoteles Nichomachean Ethic. Karya ini juga memiliki struktur berbasis teologis-metafisik. Judul lengkapnya adalah Mabadi Ara Ahl Al-Madinah Al- Fadhilah_the Opinions of the Citezens of the idea state, menunjukkan keterkaitan Al-Farabi pada teori politik berbasis teologi-metafisik.
Kitab al-Madnah al-Filah ini juga merupakan salah satu konsep politik Alfarabi yang merupakan perpaduan antara unsur Platonik, Aristotelian, dan konsep Islam. Negara ideal adalah negara yang mengelaborasi rasa kemanusiaan secara universal, tidak terbatas pada suku dan bangsa tertentu, melaksanakan ketundukan hanya kepada Tuhan, tidak kepada yang lain. Alfarabi menekankan bahwa tujuan utama bernegara adalah tercapainya kebahagiaan bagi warga negara. Dengan teori organik, Al-Farabi menyatakan bahwa pemerintahan dalam negara itu seperti halnya sistem organisme tubuh manusia, dimana setiap unsur yang ada saling memperkuat untuk mencapai satu tujuan. Negara ideal bagi Al-Farabi adalah negara yang bertujuan untuk kesejahteraan warganya, dan yang menjadi pimpinan utama adalah seorang filsuf yang memiliki sifat-sifat Nabi.
Banyak pakar menilai, pemikiran Al-Farabi menunjukkan pengaruh gagasan para filsuf Yunani Kuno, semisal Plato atau Aristoteles. Menurut dia, tatanan bermasyarakat bertujuan untuk menghasilkan kebahagiaan bagi setiap warga, baik di dunia maupun akhirat kelak. Karya-karyanya yang terkait dengan ilmu politik ialah As-Siyasah Al-Madaniyah dan Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Menurutnya, ada dua kualitas, yakni negara utama (al-madinah al-fadhilah) dan negara bukan utama.
Sifat utama dapat dilekatkan pada suatu negara bila di dalamnya masyarakat hidup rukun dan saling bekerja sama. Tiap warga bagaikan satu bagian tubuh yang apabila salah satunya terluka, maka rasa sakitnya dirasa seluruh badan. Tentu saja, tiap bagian tubuh memiliki fungsi yang berlainan. Akan tetapi, perbedaan itu tidak menjadi halangan untuk saling bekerja sama. Justru, kolaborasi itulah yang membuat mereka berfungsi dengan baik. Peran kepala negara sangat penting. Sebab, dialah yang mengarahkan tiap elemen masyarakat agar dapat mencapai tujuan berbahagia. Seorang kepala negara, dalam pemikiran Al-Farabi, harus memiliki kapasitas intelektual yang di atas rata-rata. Dalam hal ini, gagasan ilmuwan Muslim yang wafat pada 950 Masehi itu tampak terinspirasi dari negara ideal menurut Plato.[]
Sumber: Republika