Fenomena Pengemis di Aceh, Cermin Perubahan Sosial yang Mengkhawatirkan

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Fenomena meningkatnya jumlah pengemis dan pengamen di berbagai sudut Kota Banda Aceh dan kabupaten lainnya belakangan ini menjadi sorotan publik. Keberadaan mereka yang kian menjamur di simpang-simpang lampu merah, bahkan masuk ke warung-warung dan kafe dengan alunan gitar dan permintaan uang seikhlasnya, memantik keprihatinan masyarakat.

Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah ingatan kolektif tentang masa lalu Aceh yang dikenal sebagai tanah para dermawan. Sejarah mencatat, masyarakat Aceh pernah menunjukkan semangat memberi yang luar biasa, salah satunya dengan menyumbangkan satu unit pesawat Dakota RI-001 Seulawah kepada pemerintah pusat pada awal kemerdekaan Indonesia. Sebuah aksi monumental yang bukan sekadar bantuan materiel, tetapi juga simbol kebesaran jiwa dan solidaritas rakyat Aceh.

Namun kini, suasana itu terasa memudar. Alih-alih menjadi pihak yang memberi, masyarakat Aceh justru mulai terlihat menengadahkan tangan. Perubahan ini memunculkan pertanyaan besar: apa yang sebenarnya terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Nukilan.id menghubungi Dr. Masrizal, seorang sosiolog Aceh, pada Minggu (1/6/2025). Dalam pandangannya, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan sosial yang lebih luas.

“Jika dilihat dari aspek sosiologis, meningkatnya jumlah pengemis di Aceh salah satunya disebabkan oleh faktor kemiskinan yang masih tinggi,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa realitas ekonomi yang tidak mendukung kehidupan layak turut memperparah situasi tersebut. Bukan hanya soal pendapatan yang minim, tetapi juga soal peluang untuk mandiri yang makin sulit ditemukan.

“Selain itu, akses terhadap lapangan kerja yang sulit juga menjadi pemicu utama. Kedua hal ini saling berkaitan dan berdampak langsung terhadap bertambahnya jumlah pengemis di ruang-ruang publik,” lanjutnya.

Lebih jauh, Dr. Masrizal menyoroti adanya pergeseran nilai dan pola kehidupan masyarakat Aceh jika dibandingkan dengan kondisi pada masa lampau.

“Dulu, masyarakat Aceh dikenal sebagai pihak yang memberi karena ditopang oleh kondisi ekonomi yang relatif kuat dan tersedianya banyak lapangan kerja,” katanya.

Kini, menurutnya, realitas itu telah bergeser secara signifikan. Struktur sosial dan ekonomi masyarakat tidak lagi berdiri kokoh sebagaimana dahulu.

“Namun kini, situasinya berbalik, kita justru lebih sering melihat masyarakat menengadahkan tangan. Ini menjadi refleksi bahwa struktur ekonomi dan sosial masyarakat kita telah mengalami perubahan yang cukup mendalam,” pungkasnya.

Fenomena ini, jika dibiarkan tanpa penanganan yang serius dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat, berpotensi menimbulkan masalah sosial yang lebih besar di masa mendatang.

Bukan hanya soal meningkatnya angka kemiskinan, tetapi juga tentang lunturnya nilai-nilai kemandirian, martabat, dan jati diri masyarakat Aceh yang sejatinya dikenal sebagai pemberi, bukan peminta. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img

Read more

Local News