Tuesday, September 24, 2024

Ekspor Pasir Laut setelah 20 Tahun

Nukilan.id – Pemerintah kembali membuka ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang. Larangan ekspor ini dicabut setelah direvisi Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan pada 9 September 2024 yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024.

Ekspor ini juga telah diizinkan oleh Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. PP ini sudah berlaku sejak 15 Maret 2023 lalu. Dengan berlakunya PP ini, maka Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Belakangan, Jokowi membantah bahwa yang diekspor adalah pasir laut, tetapi hanya sedimen yang mengganggu jalannya kapal. Sementara Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim mengatakan ekspor pasir laut diperbolehkan dengan syarat kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi. Ia berpendapat pengerukan pasir laut diperlukan untuk mengatasi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung serta daya tamping ekosistem pesisir dan laut.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan bahwa kebijakan dibukanya ekspor pasir laut itu bukanlah keputusan sepihak mereka, namun hasil keputusan bersama dalam rapat kabinet bersama presiden. Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan mengatakan bahwa Kemendag memberikan izin ekspor setelah serangkaian proses panjang.

Sementara Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menilai ekspor pasir laut cocok dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi, termasuk mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan infrastruktur dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves), Luhut Binsar Pandjaitan memastikan bahwa kebijakan ekspor pasir laut ini tidak akan merusak lingkungan.

Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pemerintah telah menetapkan tujuh lokasi yang pasir lautnya. Pertama Demak, Jawa Tengah dengan potensi volume hasil sedimentasi laut sebanyak 1,72 miliar meter kubik. Kemudian Surabaya, Jawa Timur dengan potensi sebesar 399 juta meter kubik, dan Cirebon, Jawa Barat seluas 621 juta meter kubik.

Selanjutnya Indramayu, Jawa Barat dengan potensi volume mencapai 1,10 miliar meter kubik. Kemudian Karawang, Jawa Barat dengan potensi 1,74 meter kubik. Lalu Selat Makassar, Kalimantan Timur seluas 2,97 miliar meter kubik. Dan terakhir Laut Natuna-Natuna Utara, Kepulauan Riau dengan volume mencapai 9,09 miliar meter kubik. Total volume hasil sedimentasi dari tujuh kawasan ini mencapai 17,65 miliar meter kubik.

Menguntungkan Singapura

Ekspor pasir laut di Indonesia awalnya dibuka pada tahun 1970-an yang waktu itu untuk memenuhi kebutuhan Singapura. Dikutip Nukilan dari Majalah Tempo, Departemen Perindustrian dan Perdagangan pada waktu itu mencatat dari 2 juta meter per kubik pasir laut yang diekspor, hanya 900 ribu meter kubik yang legal. Akibatnya, pemerintah diperkirakan merugi hingga 330 juta dollar AS per tahun.

Yang paling diuntungkan dari bisnis ini adalah Singapura. Dari ekspor pasir laut dari Indonesia, Singapura saat itu mampu membuat delapan pulau kecil, yaitu Seraya, Merbabu, Merliau, Ayer Chawan, Sakra, Pesek, Masemut Laut, dan Meskol menjadi Pulau Jurong. Reklamasi ini membuat Pulau Jurong maju 3,5 kilometer ke arah barat daya.

Luas Singapura juga semakin bertambah akibat ekspor pasir laut ini. Sebelumnya, luas daratan Singapura sebelum merdeka dari Malaysia hanyalah 578 kilometer persegi. Saat ini, luas Singapura bertambah menjadi 719 kilometer persegi atau bertambah lebih dari 25 persen.

Akibat ekpor ini, sejumlah pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi tenggelam. Salah satu kawasan yang saat itu menjadi korban eksploitasi pasir adalah Kepulauan Riau yang dikeruk sejak 1976 hingga 2002 untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspornya waktu itu mencapai 250 juta meter kubik per tahun. Hal ini membuat Pulau Nipah di Batam hampir tenggelam akibat abrasi.

Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 2019 menyebutkan bahwa Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia. Negara tersebut sudah mengimpor sebanyak 517 juta ton pasir laut dari negara tetangga seperti Malaysia dan Indonesia selama dua dekade lebih.

Presiden RI saat itu, Megawati Soekarnoputri pada 2003 lantas menyerukan penghentian ekspor pasir laut tersebut dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup. Megawati menghentikan ekspor tersebut dengan pertimbangan demi mencegah kerusakan lingkungan dan tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat pengerukan pasir.

Pada 2007, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Freddy Numberi mengakui bahwa dua pulau milik Indonesia sempat hilang akibat ekspor pasir laut untuk proyek reklamasi Singapura. Karena itu, pihaknya secara tegas melarang ekspor pasir laut.

“Pulau Nipah dan Sebatik sempat hilang, karena pasir yang ada dikeruk untuk dijual ke Singapura. Jadi, ekspor pasir laut itu merugikan. Indonesia nggak mendapatkan apa-apa dari ekspor pasir laut itu karena juga dirugikan. Ada pulau yang hilang, lingkungan rusak, dan Indonesia harus keluar uang banyak untuk memulihkan,” ujar Freddy pada Mei 2007, dilansir Antara.

Merusak Ekosistem Laut

Kebijakan dibukanya kembali ekspor pasir laut ini mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Di antaranya disampaikan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Anggota Komisi IV DPR RI fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Daniel Johan menyatakan tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang membuka kembali ekspor pasir laut.

Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Alam Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB itu meminta pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan tersebut karena dinilai dapat berdampak terhadap ekologi laut dan menimbulkan masalah sosial.

“Kami mewanti-wanti pemerintah untuk kembali mempertimbangkan kebijakan ini karena ekspor pasir bisa menyebabkan ekologi laut terancam bencana! Dan bila terjadi bencana ekologi, itu bisa merugikan Indonesia berkali-kali lipat dibandingkan keuntungan yang didapat,” kata Daniel dalam keterangannya, Sabtu (21/9/2024).

Sementara Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani meminta pemerintah menunda kebijakan ekspor pasir laut. Dia menyampaikan jangan sampai kebijakan ekspor pasir laut ini malah membawa banyak kerugian untuk masyarakat. Karena itu, dia meminta pemerintah mempertimbangkan secara matang kebijakan tersebut sebelum mengambil keputusan.

“Ketika mudharatnya lebih besar dari pendapatan perekonomian yang kita dapatkan, tentu saja itu adalah sebuah kegiatan yang akan menjadi beban bagi kehidupan kita berikutnya,” kata Muzani, dilansir Kompas, Minggu (22/9/2024).

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menduga ekspor pasir laut ini dilakukan untuk mendukung rencana megaproyek reklamasi Pelabuhan Tuas Singapura yang disebut-sebut bakal menjadi pelabuhan terbesar di dunia.

Susan mengatakan hal ini menimbulkan keraguan apakah hasil sedimentasi di Natuan dan Natuna Utara begitu luas dibandingkan dengan kawasan lainnya sehingga negara perlu mengeluarkan konsesi hingga 9,09 miliar meter kubik.

“Kita mencoba berbaik sangka, tapi kayaknya nggak bisa kami berbaik sangka dalam hal ini, karena 9 miliar itu bukan angka main-main,” ujar Susan, dilansir Bisnis, Senin (23/9/2024).

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan aturan ekspor pasir laut ini semakin menambah daftar panjang kebijakan pemerintahan Jokowi yang jauh dari semangat perlindungan lingkungan dan lebih mementingkan kepentingan oligarki dan pengusaha.

Dia mengatakan Greenpeace Indonesia menolak keras keputusan tersebut karena hanya akan merusak ekosistem laut dan pesisir serta mengancam kehidupan nelayan.

Afdillah menambahkan, selain merusak ekosistem laut, ekspor pasir laut juga memperparah abrasi pantai dan banjir rob. Contohnya seperti kasus penambangan pasir di Kepulauan Spermonde, lepas pantai Makassar pada 2020 lalu. Saat itu, kapal dredging asal Belanda, Queen of the Netherlands melakukan pengerukan pasir laut yang merusak wilayah tangkapan nelayan.

“Sejak tahun lalu ketika Presiden Jokowi mengesahkan PP Nomor 26 Tahun 2023 yang membolehkan pengisapan pasir laut ataupun sedimennya di luar wilayah pertambangan, sudah banyak kritik yang disampaikan oleh masyarakat, nelayan, akademisi hingga peneliti. Sudah kami prediksi dari awal bahwa rezim Jokowi tidak akan peduli dengan kritik dan tidak akan berpihak pada lingkungan,” kata Afdillah dalam keterangannya, Senin (16/9/2024). ***

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img