NUKILAN.id | Banda Aceh – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh menjatuhkan vonis terhadap dua pejabat Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dalam kasus korupsi pengadaan budi daya ikan dan pakan untuk masyarakat korban konflik di Kabupaten Aceh Timur. Putusan tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Jumat (14/3/2025), majelis hakim yang diketuai M Jamil dengan anggota R Deddy Haryanto dan Heri Alfian, memvonis terdakwa Muhammad dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan. Sementara terdakwa Mahdi dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Majelis hakim menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini bermula dari pengelolaan dana pengadaan budi daya ikan kakap dan pakan runcah untuk masyarakat korban konflik oleh BRA dengan anggaran sebesar Rp15,7 miliar pada tahun 2023. Program tersebut ditujukan bagi sembilan kelompok masyarakat korban konflik. Namun, fakta di persidangan mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok tersebut tidak pernah mengajukan maupun menerima bantuan tersebut.
“Bahwa pekerjaan pengadaan budi daya ikan kakap dan pakan untuk kelompok masyarakat korban konflik tersebut fiktif. Sedangkan pencairan anggaran dicairkan 100 persen,” kata Heri Alfian, anggota majelis hakim.
Dalam persidangan, terungkap pula adanya aliran dana sebesar Rp750 juta dari proyek ini yang diduga diterima oleh kedua terdakwa. Namun, majelis hakim menyatakan tidak ada bukti kuat bahwa uang tersebut benar-benar sampai ke tangan Muhammad dan Mahdi.
Majelis hakim justru menyebut bahwa uang tersebut masih dalam penguasaan saksi Suhendri, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Badan Reintegrasi Aceh. Suhendri sendiri sedang menjalani proses hukum dalam kasus yang sama.
Putusan majelis hakim ini lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Aceh. Sebelumnya, JPU menuntut terdakwa Mahdi dengan hukuman delapan tahun penjara, denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp250 juta atau tambahan hukuman empat tahun enam bulan penjara jika tidak membayar.
Sementara itu, terdakwa Muhammad dituntut sembilan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp250 juta atau tambahan hukuman empat tahun enam bulan penjara jika tidak membayar.
Majelis hakim mempertimbangkan beberapa faktor dalam putusannya, salah satunya adalah dampak korupsi ini terhadap masyarakat korban konflik di Aceh. “Hal memberatkan, perbuatan kedua terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah memberantas tindak pidana korupsi. Terdakwa juga mengkhianati tujuan pembentukan Badan Reintegrasi Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat korban konflik,” tegas majelis hakim.
Atas putusan ini, baik terdakwa maupun penasihat hukumnya menyatakan masih pikir-pikir apakah akan mengajukan banding. Hal yang sama juga disampaikan oleh JPU yang belum memutuskan apakah akan menerima atau mengajukan upaya hukum lebih lanjut.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi upaya pemberantasan korupsi di Aceh, khususnya dalam pengelolaan dana bantuan bagi korban konflik yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, publik menanti langkah hukum selanjutnya dalam kasus ini, termasuk proses hukum terhadap saksi Suhendri yang didakwa dalam perkara yang sama.
Editor: Akil