Nukilan.id – Dosen Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Saiful Mahdi, mengatakan bahwa kesulitan memperjuangkan kebebasan akademik dan berekspresi terjadi karena masih terdapat nilai-nilai feodalisme. Saiful merupakan dosen yang dipidana dengan UU ITE karena mengkritik kebijakan di kampusnya.
“Sebagian masyarakat masih menghormati dan cenderung menghargai nilai-nilai feodalisme yang tidak sepenuhnya bisa kita salahkan pada banyak warga,” kata Saiful dalam orasinya yang berjudul Cek Kosong untuk Penguasa (Kampus), Rabu, 1 September 2021.
Saiful mengatakan, banyak yang mengira pemilihan rektor dan dekan sudah demokratis. Hal itu terjadi karena kampus semakin seperti menara gading, terlepas, tercerabut, dan tertutup, sehingga membuat masyarakat hanya mengetahui hal-hal yang baik saja dari kampus. Padahal, kata Saiful, ada pola relasi kuasa, interusi kekuatan ekonomi politik telah membuat para penguasa abai dengan amanah dari masyarakat.
Menurut Saiful, jurnalis dan pengarang ternama, Mochtar Lubis, dalam pidato kebudayaannya pada 6 April 1977 pernah menyampaikan enam sifat manusia Indonesia, yaitu hipokritis dan munafik, enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, jiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan watak yang lemah. “Seorang Mochtar Lubis membangun profil manusia Indonesia bukan di saat kita masih dalam penjajahan, bahkan setelah kemerdekaan, kemasygulan itu masih ada,” katanya.
Saiful mengatakan, dengan kemunafikan, jiwa feodal, dan watak lemah tidak mungkin berharap dapat melahirkan tatanan yang setara dan adil. Namun, dalam karya para pemikir dan pendiri banga, ada harapan bahwa pendidikan bisa membangun karakter bangsa lebih kuat, menghilangkan feodalisme dan kepercayaan pada takhayul, hingga sirnanya kemunafikan.
Sebagai gantinya, Saiful menuturkan, meritokrasi dapat menjadi kebijakan di mana akal sehat dan berpikir kritis yang diasah. Kejujuran dan obyektivitas menjadi karakter bangsa.
“Semuanya ini adalah ciri dunia akademik,” kata dia.
Sayangnya, menurut Saiful, usaha pendidikan dan pembangunan karakter di negeri ini gagal. Dalam dunia perguruan tinggi, ada komersialisasi pendidikan dan monetisasi perkuliahan oleh pimpinan dan penguasa kampus hingga oknum-oknum dosen.
Perguruan tinggi Indonesia bahkan disebutnya bertambah hancur dengan penggunaan metode dan sistem industri yang deterministik. Manajemen mutu berasis sertifikasi dan akreditasi makin menghilangkan kemanusiaan civitas akademika dosen dan mahasiswa.
Selain itu, Saiful menilai pendidikan karakter gagal karena adanya KKN yang dipertontonkan nyaris telanjang oleh banyak pejabat publik, tak terkecuali dunia kampus.
“Kasus korupsi makin banyak melibatkan pejabat sekolah dan kampus. Plagiarisme makin susah dibendung. Integritas kampus makin dipertanyakan ketika gelar akademik honoris causa diobral,” katanya.
Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Saiful Mahdi tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara setelah melalui 18 kali sidang.
Saiful menempuh upaya banding dan kasasi, tetapi semuanya kandas. Ia pun berencana mengajukan peninjauan kembali dan amnesti atas jerat UU ITE ini. Namun, ia mengakui langkah legal tersebut memerlukan waktu dan proses panjang. Bisa jadi, hasilnya baru diketahui setelah dirinya menjalani tiga bulan hukuman penjara. [tempo.co]