NUKILAN.id | Banda Aceh – Komitmen untuk melindungi hak perempuan dan anak ditegaskan melalui Deklarasi Bersama yang menjadi puncak acara Festival Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan dan Anak di Car Free Day Banda Aceh, Minggu (1/12/2024).
Deklarasi ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari Lembaga Wali Nanggroe, unsur pemerintahan, Aparat Penegak Hukum, LSM, Lembaga layanan, media, perguruan tinggi, swasta, hingga komunitas lokal, sebagai langkah konkret menuju Aceh yang lebih adil dan inklusif. Mengusung tema “Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi, Aceh Mulia,” acara ini sekaligus memperingati Hari Ibu dan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP).
Deklarasi mencakup empat poin utama: menjamin kesetaraan gender di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, pembangunan dan politik; melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, penelantaran ekonomi, perkawinan di bawah usia 19 tahun, dan pelakuan salah; memastikan akses pendidikan, kesehatan dan gizi berkualitas, pelayanan kesehatan yang mudah diakses dan inklusif ; serta memberikan ruang partisipasi bermakna bagi perempuan dan anak dalam pengambilan keputusan dan perencanaan Pembangunan di Aceh.
National Program Coordinator Islamic Relief Indonesia (IRI), Rizky Mohamad menegaskan komitmen IRI untuk pemenuhan hak perempuan dan anak di Aceh. Aceh salah satu wilayah kerja IRI sejak tahun 2004 melalui program respon cepat bencana gempa dan tsunami di Aceh. Merespon kerentanan situasi perempuan dan anak, Islamic Relief Indonesia menetapkan Keadilan Gender Islam sebagai sektor lintas sektoral di antara 8 sektor yang menjadi fokus kerja dalam rangka implementasi strategi Negara 2022 – 2026. Festival ini menjadi bagian strategi penguatan kapasitas dan penyadaran publik dari rangkaian Project Empower Islamic Relief Indonesia yang melibatkan multipihak strategis di Aceh.
“Tiga strategi EMPOWER melalui penguatan koordinasi pemangku kepentingan dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta, serta implementasi dan pengembangan kapasistas para pemangku kepentingan yang terlibat, terutama tokoh agama dan tokoh budaya”, jelasnya.
Direktur Flower Aceh, Riswati mengatakan Festival yang melibatkan 500 lebih peserta menjadi aksi nyata kolaboratif multipihak di Aceh merespon berbagai tantangan yang dihadapi perempuan dan anak, termasuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan perkawinan di bawah usia 19 tahun. Selama tiga tahun terakhir, tercatat 924 kasus pada 2021, naik menjadi 1.029 kasus pada 2022, dan kembali meningkat menjadi 1.036 kasus pada 2023.
“Angka ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan kekerasan masih menghadapi tantangan, karena dipengaruhi berbagai faktor seperti sosial, ekonomi, budaya, dan hukum. Penanganan membutuhkan kebijakan menyeluruh yang mencakup langkah pencegahan dari awal hingga akhir,” kata Riswati.
Melalui Kampanye dengan pendekatan budaya dan adat lokal, diharapkan dapat menggugah kepedulian dan kesadaran kritis masyarakat untuk memenuhi hak dan perlindungan perempuan dan anak. Serta upaya pencegahan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, kekerasan seksual, termasuk perkawinan anak dan usia dibawah 19 tahun di tingkat provinsi.
“Melibatkan kearifan lokal adalah cara efektif untuk menyuarakan pentingnya melindungi perempuan dan anak,” tambahnya.
Festival ini diselenggarakan oleh Islamic Relief Indonesia, Pemerintah Aceh melalui DPPPA Aceh, Flower Aceh, Nonviolent Peaceforce – Kedutaan Besar Belanda, Polda Aceh, Dispora-CFD Banda Aceh, UNICEF, Konsorsium Permampu-INKLUSI, Forum Anak Tanah Rencong, Baitul Mal, Bank Aceh Calang, BSUIA, Komisi Kesetaraan KSBSI Aceh, FJPI, Global Ehsan Relief, P2TP2A, FPRB, PSGA UIN, PRG USK, AJI Banda Aceh, FJPI, AJI Banda Aceh, Bisnisia, Koalisi NGO HAM, LBH Banda Aceh, FKPAR, FPM Aceh YADUA, BEM USK dan berbagai mitra lainnya dari unsur LSM, Perguruan Tinggi, lembaga layanan, media, Perguruan Tinggi, serta komunitas.
Festival ini juga menjadi ruang dialogis antara pengambil kebijakan dengan kelompok perempuan, kelompok muda dan anak setelah pembacaan suara anak oleh Cintia dan Rameyza Alya dari Forum Anak Tanah Rencong (FATAR) dan penbacaan rekomendasi kelompok perempuan oleh Zahruna dari Forum Perempuan Akar Rumput (FKPAR) dan Junaida Aulia mewakili Forum Perempuan Muda (FPM) Aceh. Proses dialog difasilitasi oleh Kabid Pemenuhan Hak Anak DPPPA, Amrina Habibi. Festival menjadi ruang ekpresi dan kreativitas anak bagi peserta mengkampanyekan isu pemenuhan hak perempuan dan perlindungan anak.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana berkomitmen menindaklanjuti suara anak dan rekomendasi kelompok perempuan bersama berbagai pihak strategis di Aceh.
“Upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak di Aceh membutuhkan komitmen semua pihak tidak hanya pemerintah, maka kerja-kerja bersama, berkolaborasi, dan sinergis menjadi keharusan”, jelasnya.
Hal yang sama disampaikan pula oleh Sekretaris Tuha 8 Lembaga Wali Nanggroe, Ainul Mardiyah, “Lembaga Wali Nanggoe menjadi simbol pemersatu rakyat Aceh dalam melestarikan adat istiadat dan nilai-nilai budaya Aceh. Kami menilai pentingnya sinergis dan kerja sama dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dan anak di Aceh”, jelasnya.
Peserta festival yang hadir di CFD Banda Aceh terlihat bersuka ria menikmati berbagai aktivitas yang disediakan selama festival berlangsung, mulai dari hiburan musik oleh Rafly Kande, seniman legendaris Aceh, ekspresi anak dan pentas seni budaya, tari Ranub Lampuan oleh perwakilan sekolah, permainan tradisional oleh FATAR, konsultan kesehatan, hukum, dan layanan pengaduan, serta berbagai layanan yang disediakan oleh beragam instansi dan lembaga yang terlibat melalui booth informasi dan layanan integrasi hak perempuan dan anak.
Rafly Kande dalam karyanya menegaskan betapa budaya Aceh dan agama sesungguhnya menempatkan perempuan dan anak ke dalam posisi yang terhormat dan mulia. Tidak seharusnya menerima kekerasan dan harus dipenuhi hak-haknya.
Pada saat yang sama, Deklarasi yang bacakan dan ditanda tagani di festival ini menjadi pijakan penting dalam memperkuat pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dan anak di Aceh, menciptakan keadilan sosial, dan mendorong terciptanya Aceh yang aman, sejahterah serta inklusif.
Editor: Akil