Carut Marut IPAL, Ini 5 Hal Wajib Diketahui Masyarakat Aceh

Share

Nukilan.id – Melihat perkembangan polemik akhir-akhir ini terkait pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di gampong Pande, Kota Banda Aceh yang terus mendapat penolakan dari warga setempat maupun masyarakat Aceh. Ketua Aceh Kreatif Delky Nofrizal Qutni, menyebutkan ada 5 hal penting yang wajib diketahui sehingga informasi yang diterima masyarakat sesuai dengan fakta.

Pertama, Delky menyampaikan MoU Terkait Pembangunan IPAL Gampong Pande senilai Rp.107,3 Milyar dilakukan oleh Pemerintahan Kota pada masa pemerintahan sebelumnya, dan sudah berjalan sejak tahun 2015 dan pelaksanaannya sudah dilaksanakan pada tahun 2016 tepatnya dibawah Banda Aceh di bawah kepemimpinan Illiza Saaduddin Jamal.

“Sementara hingga hampir 5 tahun Banda Aceh di bawah kepemimpinan H Aminullah Usman SE Ak MM tidak ada dilakukan sama sekali pembangunan IPAL di lokasi tersebut. Ini harus diingat betul oleh masyarakat,” Ungkap Delky kepada awak media, Rabu (16/02/2022).

Kedua, kata dia ketika Banda Aceh dipimpin oleh H Aminullah Usman, SE Ak MM pada tahun 2017 pembangunan IPAL itu diminta dihentikan terlebih dahulu mengingat adanya protes warga bahwa adanya penemuan nisan makam ulama abad 16 hingga 18, sehingga Aminullah meminta dilakukan survey dan pemetaan terlebih dahulu dengan melibatkan berbagai pihak arkeolog dan pihak berkompeten di bidang tersebut, sebelum dilakukan kelanjutan pembangunan.

“Hal yang dilakukan Aminullah ini merupakan jalan tengah, semata-mata bertujuan untuk menjaga dan melestarikan situs sejarah. Sehingga kalaupun diwajibkan dilanjutkan pembangunan sebagaimana MoU yang ditandangani Pemerintahan sebelumnya maka harus sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan Pemkot yakni berdasarkan survey/kajian dan pemetaan arkeolog agar situs sejarah terselamatkan,” ujarnya.

Ketiga, menurut Delky, pada Detail of Enginering (DED) serta desain pembangunan terbaru semuanya diwajibkan mengikuti hasil pemetaan dan survei arkeolog di lapangan, serta mengakomodir upaya-upaya pelestarian situs sejarah.

“Komitmen itu menunjukkan bahwa Pemkot Banda Aceh di bawah Kepemimpinan H Aminullah Usman terus berupaya mencari jalan terbaik agar kebutuhan masyarakat Kota terkait IPAL terwujud sebagaimana MoU yang terlanjut dibuat pada pemerintahan sebelumnya, dan situs sejarah tetap terpelihara,”ungkapnya.

Ke empat, berdasarkan investigasi mandiri hingga pengecekan lapangan yang dilakukan langsung Ombusman RI Perwakilan Aceh pada tanggal 27 April 2021, kata Delky ditemukan bahwa Proyek yang telah dihentikan dan sebelumnya akan dibangun pada lahan seluas lebih kurang 3.000 meter tersebut ternyata berada di Gampong Jawa.
“Dari hal itu saja menunjukkan bahwa argumentasi yang dihembuskan terkait penolakan IPAL selama ini tidak merujuk pada fakta, data real dan kondisi lapangan sebenarnya, namun hanya sekedar asumsi,” katanya.

Menurut mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) ada hal yang perlu diluruskan, jika ada pihak yang mengatakan di sana kita bangun proyek pembuangan tinja, itu salah besar karena IPAL itu mengolah limbah jadi sesuatu yang bisa dimanfaatkan lagi.

“Yang keluar nanti air yang bahkan bisa untuk cuci muka. Karena IPAL yang dibangun tersebut bukan septi tank,” lugasnya.

Ke lima Delky juga ungkapkan adanya ponish yang menyebut haramnya pembangunan IPAL yang sempat dikemukakan oleh salah satu tokoh Aceh, H Muzakir Manaf tentunya jauh dari konteks sesungguhnya, mengingat tidak ada satu ayat atau hadist pun yang menyatakan hal itu haram sesuai kondisi real yang ada.

“Bahkan jika kita mencoba melihat lebih jauh ‘Proyek IPAL di Kota Mekkah bahkan Pengelolaan Air Limbah di bawah Mesjidil Haram, karena Mesjidil Haram adalah lokasi paling rendah di Kota Mekkah’. Apakah itu dikatakan haram dan ceroboh, tentunya tidak. Karena melalui pertimbangan-pertimbangan dan kajian yang sangat matang,” sebutnya.

Untuk itu, Delky berharap penyelesaian IPAL ini tetap mengacu pada pemetaan, survei dan kajian ilmiah agar solusi yang dihasilkan tidak merugikan masyarakat di kemudian hari.

“Selain itu hal yang perlu diketahui bahwa pembangunan IPAL itu dilakukan di lahan 3000 meter yang sebagian besar wilayahnya di gampong Jawa sementara luas gampong jawa dan gampong pande itu puluhan hektar, jika diumpakan itu hanyalah sebuah gelas kopi di atas meja. Pertanyaan yang muncul sederhana, apakah di semua tanah di wilayah gampong pande dan gampong jawa terdapat situs sejarah? Tentunya tidak, sehingga pembangunan bisa saja dilakukan sejauh tidak mengganggu kawasan situs sejarah,” demikian jelas Delky.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News