Nukilan.id – Pengamat Politik Aceh Fajran Zain meminta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Saiful Bahri alias Pon Yahya untuk lebih fokus terhadap optimalisasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA), bukan terhadap revisi UUPA.
“Khusus berbicara UUPA sekarang arus menstrim terus berbicara terkit revisi-revisi, memang ada beberapa justifikasinya, lumayan ada pasal-pasal yang sudah tidak lagi relevan. Contohnya seperti kandidat independen yang memang pasalnya sudah tidak relevan lagi, KIP Aceh yang dimana setiap pemilu Aceh mempunyai kekhususan sendiri, tapi ini juga jadi sebuah permasalahan ketika Pilkada ke Panwaslih sedangkan ketika Pileg ke Panwaslu yang mana seharusnya disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,” jelas Fajran dalam keterangannya kepada Nukilan, Senin (16/5/2022).
Selanjutnya, kata dia, ada satu alasan lagi menurut para pendukung revisi UUPA yang signifikan yaitu soal reduksi besaranan Dana Otonomi Khusus (Otsus) dari 2% menjadi 1%. Namun, seharusnya DPRA kalau debat UUPA itu lebih kepada optimalisasi UUPA, bukan berbicara tentang revisi.
Menurut Fajran, UUPA itu mempunyai perangkat-perangkat regulasi pendukung yang mestinya harus diselesaikan baik di tingkat Pemerintah Aceh maupun nasional.
“Contoh di tingkat Pemerintah Aceh misalnya ada 12 qanun yang belum diselesaikan, dan di tingkat Peraturan Pemerintah ada 9 perintah UUPA dan 5 sudah selesai sisa 4 yang belum,” sebutnya.
Kemudian, lanjutnya, menjastisifikasi pentingnya revisi UUPA karena alasan-alasan muncul itu kurang kuat. Ketika berpikir dana Otsus sisa 1% lalu kemudian kita berpikir untuk merivisi UUPA ini harus hati-hati, karena dikhawatirkan ketika membuka ruang untuk revisi tanpa kehati-hatian juga berpotensi untuk meredupsikan pasal-pasal kekhususan Aceh yang seharusnya dipertahankan.
“Sekarang DPRA sudah mengalokasikan anggaran sekitar 8 miliar untuk revisi UUPA, tapi ini harus ada kehati-hatian. Namun, katika pemerintah pusat sudah setuju untuk revisi dan akan berjalan, maka tidak ada yang bisa menjamin pasal-pasal seperti yang diinginkan oleh para pakar di Aceh bisa dipertahankan,” jelas Direktur Eksekutif The Aceh Institute itu.
“Jadi yang semula kita ingin sebenarnya menutup kebolongan-kebolongan atau pasal-pasal yang tidak relevan lagi di UUPA dengan pasal-pasal baru yang justru terjadi hilangnya pasal-pasal kunci, atau background yang merupakan tulang punggungnya dari UUPA itu sendiri,” jelas Fajran.
Seharusnya DPRA mengoptimalkan dahulu pasal-pasal dalam UUPA. Dan dalam UUPA itu sendiri juga ada memerintahkan adanya revisi Peraturan Pemerintah.
“Jadi lebih baik Peraturan Pemerintah ini dulu yang dikejar. Karena kehilangan 3,5 trilliun pertahun itu tidak ada apa-apanya di bandingkan pemerintah mengembalikan kewenangan penuh kepada pemerintah Aceh seperti yang disebut dalam UUPA kembali pada asas yang paling mendasar yaitu seiramakan dengan MoU,” jelas Fajran.
Ia menyebutkan contoh seperti pada pasal pengelolaan sumber daya alam sudah disebutkan itu dikelola oleh pemerintah Aceh, tapi sekarang ketika undang-udang minerba keluar ini sudah meredupsikan MoU itu sendiri.
“Belum lagi soal pengelolaan zakat, kewajiban bayar pajak dan lain-lain sebagainya,” tutur Fajran.
Karena itu, Fajran berharap kepada pemerintah sekarang apalagi Ketua DPRA, Pon Yahya harus Fokus terhadap opltimalisasi UUPA itu sendiri, walaupun DPRA sudah mengetok palu untuk persiapan revisi UUPA.
“Namun, harus hati-hati jangan sampai gara-gara anggaran revisi tapi ujung-ujungnya dari revisi itu akan mencelakakan Aceh, karena itu akan menjadi sejarah untuk anak cucu kedepan justru Aceh dijarah oleh pejabatnya sendiri,” tutup Fajran.
Disisi lain, Fajran menyampaikan ucapan selamat kepada Saiful Bahri alias Pon Yahya telah dilantik sebagai Ketua DPRA sisa masa jabatan 2019-2022.
“Saat ini beliau mendapatkan amanah lebih luas sebagai pemegang pucuk pimpinan yang setara dengan Gubernur Aceh untuk membahas kepentingan Aceh kedepan. Dan kita tau juga dulunya Pon Yahya adalah seorang panglima tempur yang mempunyai taktik Grilia. Tapi sekarang beliau akan berhadapan dengan tempur politik yang dimana memiliki seni yang berbeda dengan tempur di medan lapangan,” pungkas Fajran.
Reporter: Hadiansyah