BRICS dan Implementasi Politik Bebas Aktif yang Dijalankan Indonesia

Share

NUKILAN.id | Indepth – Pada 6 Januari 2025 lalu, Indonesia secara resmi bergabung sebagai anggota BRICS, forum kerja sama ekonomi global, di bawah kepemimpinan Brasil. Proses penerimaan Indonesia sebagai anggota penuh tergolong cepat, mengingat keinginan untuk bergabung baru diajukan saat KTT Plus di Kazan, Rusia, pada 24 Oktober 2024. Dikutip Nukilan.id, Menteri Luar Negeri Sugiono pada saat itu menyampaikan langsung niat tersebut, hanya empat hari setelah Presiden Prabowo mulai menjabat.

Penerapan Politik Bebas Aktif oleh Indonesia

Dengan keanggotaan ini, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang bergabung dengan BRICS, forum yang awalnya dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Langkah Indonesia ini sempat menuai pertanyaan dari berbagai pihak. Namun, Menlu Sugiono menegaskan bahwa bergabungnya Indonesia merupakan bagian dari implementasi politik luar negeri yang bebas aktif.

“Awalnya banyak pihak yang mempertanyakan mengenai keputusan Indonesia masuk sebagai anggota BRICS dan dianggap sebagai sesuatu yang melenceng. Yaitu, dari prinsip politik luar negeri kita yang bebas aktif,” jelas Menlu Sugiono saat menyampaikan Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) pada Jumat, 10 Januari 2025, di Ruang Nusantara, Kemlu RI, Jakarta.

Menurut Sugiono, penerimaan Indonesia sebagai anggota penuh BRICS merupakan hasil dari komitmen diplomasi yang konsisten selama bertahun-tahun. Dia juga menegaskan bahwa langkah ini bukan kebijakan yang terisolasi, tetapi bagian dari upaya yang lebih luas untuk memperkuat peran Indonesia dalam kerja sama multilateral.

“Sebelumnya, kita juga aktif di kelompok multilateral yang lain seperti G20, APEC, IPF, MIKTA, dan CPTPP, serta sekarang kita sedang dalam tahap aksesi sebagai anggota OECD. Oleh karena itu, sekali lagi, bergabungnya Indonesia dalam BRICS merupakan sebuah wujud dari pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif,” tambahnya.

Sugiono juga menyatakan bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS bertujuan untuk memperkuat peran sebagai penghubung antara negara-negara berkembang dan kawasan Indo-Pasifik, serta berkomitmen mencegah meningkatnya ketegangan dalam persaingan geoekonomi dan geopolitik.

Peluang Kerja Sama Ekonomi-Keuangan

Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov, menyatakan bahwa bergabungnya Indonesia dengan BRICS dapat membuka peluang besar dalam kerja sama ekonomi dan keuangan. Salah satu keuntungan utama adalah akses ke Bank Pembangunan Baru (NDB) yang dikelola BRICS, yang telah menyalurkan dana miliaran dolar Amerika Serikat ke berbagai proyek.

Menurut Sergei, meski Indonesia belum menjadi anggota penuh BRICS, pertemuan Sugiono dengan Presiden NDB di Kazan mencerminkan bahwa status sebagai mitra pun memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan peluang dari kerja sama pembangunan tersebut.

Ia juga menegaskan bahwa BRICS tidak hanya berfokus pada aspek politik, tetapi turut mencakup berbagai bidang kerja sama, termasuk olahraga. “Saya telah menyebutkan sekitar 200 acara dan itu adalah acara-acara yang sangat berbeda,” ucapnya.

“Bukan hanya pertemuan tingkat menteri saja, kita masyarakat membahas suatu hal, tapi hal-hal yang sangat praktis. Mulai dari acara kebudayaan (hingga) acara olah raga.”

Indonesia di BRICS Sebagai Jembatan Kepentingan Global

Keberadaan BRICS selama dua dekade terakhir sering kali dipandang sebagai upaya menyaingi pengaruh Amerika Serikat (AS) di panggung internasional. Meski begitu, keanggotaan Indonesia di BRICS dipastikan tidak akan menimbulkan benturan dengan kepentingan AS.

“Tidak harus khawatir karena kita kan, apa istilahnya, bebas aktif ya. Kita boleh kerjasama dengan berbagai pihak dan kita tidak mengganggu kepentingan AS dalam hal ini,” ujar Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Mari Elka Pangestu, saat menjawab pertanyaan wartawan pada awal Januari.

Menurut Mari, Indonesia justru memiliki peluang untuk berperan sebagai penghubung antara negara berkembang dan negara maju. Keberadaan Indonesia di forum ini dapat memfasilitasi komunikasi serta memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam menghadapi berbagai isu global.

Namun demikian, Mari menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk mempelajari berbagai aspek yang menjadi perhatian utama BRICS, seperti penggunaan mata uang selain dolar AS.

“Misalnya menggunakan mata uang di luar dolar, menggunakan transaksi apa yang disebut SWIFT di luar sistem yang ada. Apakah itu positif atau negatif buat kita, kita harus pelajari,” jelas Mantan Menteri Perdagangan Indonesia ke-26 sekaligus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ke-10 tersebut.

Dia juga menyoroti potensi New Development Bank yang dimiliki BRICS. Menurutnya, perlu kajian mendalam terkait kemungkinan bank ini menjadi sumber pendanaan pembangunan yang signifikan bagi Indonesia.

“Mereka juga punya bank namanya New Development Bank, apakah ini akan berkembang menjadi bank yang bisa memberi dana kepada pembiayaan pembangunan. Ini hal-hal yang harus kita pelajari dari segi manfaat lainnya,” imbuhnya.

BRICS Jadi Peluang Perkuat Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan

Dengan bergabung sebagai anggota penuh BRICS, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkannya sebagai ruang negosiasi dalam kerja sama ekonomi dan perdagangan. Pakar Ekonomi Politik Global dari Universitas Gadjah Mada, Suci Lestari Yuhana, menegaskan hal ini dalam sebuah dialog khusus dengan RRI.

“Yang di mana kalau kita bicara mengenai peranan diplomasi dan negosiasi akan lebih banyak ke isu-isu ekonomi. Jadi, bukan isu-isu sifat ideologi atau politik global akan lebih banyak diskusi mengenai perdagangan dan pertumbuhan ekonomi,” ujar Suci.

Menurut Suci, posisi Indonesia sebagai negara middle power atau kekuatan menengah memberikan lebih banyak keuntungan di dalam BRICS. Ia menyoroti bahwa gaya diplomasi Indonesia cenderung berfungsi sebagai jembatan untuk membangun kerja sama.

“Kalau middle power itu gaya diplomasinya akan cenderung lebih bridge building yaitu membangun kerjasama yang levelnya mungkin antar negara-negara berkembang. Atau justru menjembatani melakukan trilateral cooperation antara negara berkembang dengan negara maju,” ucapnya.

BRICS merupakan kelompok informal negara yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Pembentukan BRICS digagas oleh Rusia.

Pertemuan Tingkat Menteri BRICS pertama kali diadakan pada 20 September 2006 atas inisiatif Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York. Menteri Luar Negeri dari Rusia, Brasil, dan Tiongkok serta Menteri Pertahanan India menghadiri pertemuan tersebut dan menyatakan minat untuk memperluas kerja sama multilateral.

Pada KTT 2024 di Kazan, Rusia, Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab menghadiri pertemuan puncak pertama mereka sebagai anggota penuh. Kehadiran Indonesia kini menambah jumlah anggota BRICS menjadi sepuluh negara. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News