NUKILAN.id | Jakarta — Pemilih golongan putih (golput) menjadi sorotan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di sejumlah daerah. Berdasarkan hasil quick count Litbang Kompas, angka golput di DKI Jakarta mencapai 42,07 persen, dengan suara sah hanya 53,33 persen dan suara tidak sah 4,6 persen. Di Jawa Barat, golput tercatat 33,66 persen, dengan suara sah 63,59 persen dan suara tidak sah 2,75 persen. Sementara itu, di Aceh, data real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan angka golput sebesar 23,41 persen.
Fenomena ini memicu diskusi hangat di media sosial. Banyak warganet menilai golput, baik dengan tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) maupun sengaja mencoret atau mencoblos semua pasangan calon (paslon), tidak akan membawa perubahan signifikan pada hasil pemilihan.
“Golput nggak bikin pejabat akhirnya diduduki orang yang benar. Golput nggak bikin mereka kehilangan kesempatan buat dzalim ke kita. Terus apa gunanya ekspresi kekecewaan lewat golput?” tulis akun @zey*** di platform X, Rabu (27/11/2024).
Menanggapi fenomena ini, Koordinator Lab Demokrasi, Hilarius Bryan Pahalatua Simbolon, menyebut golput sebagai cerminan kekecewaan masyarakat terhadap kontestasi politik yang ada. Menurutnya, ketidakpuasan terhadap paslon dan gagasan yang mereka tawarkan menjadi penyebab utama.
“Pada umumnya, golput merupakan bentuk ketidakpuasan pemilih terhadap paslon yang diusung. Parpol sering kali gagal memberikan daya tawar yang memadai melalui kader atau calon yang sesuai dengan harapan masyarakat,” kata Bryan kepada Nukilan.id, Jumat (29/11/2024).
Selain itu, Bryan menyoroti intervensi politik dan perilaku buruk elite politik sebagai faktor lain yang mendorong masyarakat enggan memilih.
“Proses Pilkada yang penuh intervensi dan perilaku buruk elite politik membuat masyarakat merasa jenuh dan kecewa pada alternatif calon yang ditawarkan. Akhirnya, golput menjadi bentuk ekspresi protes,” tambahnya.
Bryan juga mencermati munculnya inisiasi gerakan golput, seperti mencoblos semua paslon atau menggunakan simbol tertentu, sebagai bentuk kekecewaan terhadap sistem pemilu. Salah satu contohnya adalah gerakan salam empat jari di Jakarta yang menandakan tidak berpihak pada paslon mana pun.
“Gerakan ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya kecewa pada calon pemimpin, tetapi juga pada sistem, proses, dan mekanisme pemilu yang dinilai tidak mampu menciptakan perubahan berarti,” ungkapnya.
Peningkatan angka golput ini menjadi refleksi penting, bukan hanya bagi penyelenggara pemilu, tetapi juga bagi seluruh elemen demokrasi Indonesia. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah