Penulis: Bisma Yadhi Putra
26 Oktober 1955, Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin resmi menunjuk Wali Kota Banda Aceh sebagai penanggung jawab penjualan minuman keras di wilayah Banda Aceh (“Penjualan Minuman Keras dan Pemungutan Pajak Atas Izin Penjualannya 1”, Dispursip Aceh, AC01-116/8-116.5).
Penunjukan tersebut bermula dari disahkannya sebuah kebijakan baru pada awal tahun (31 Januari) yang dinamai “Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6.U.U./1955 tentang Pendjualan Minuman Keras dan Pemungutan Padjak atas Idzin Pendjualannja”. Sebutan resmi yang lebih ringkas adalah “Peraturan Padjak Idzin Pendjualan Minuman Keras Sumatera Utara” (“Penjualan Minuman Keras dan Izin Penjualannya 1”, Dispursip Aceh, AC01-116/8-116.2).
Pasal 4 Ayat (1) perda tersebut menyatakan: “Dilarang mendjual minuman keras sebelum memperoleh idzin dari pendjabat jang berhak buat itu”. Masalahnya tidak dijelaskan siapa pejabat yang dimaksud.
Barulah kemudian pada bulan Oktober Gubernur Amin membuat keputusan:
“Untuk tiap2 Kabupaten dalam daerah Propinsi Sumatera Utara dihundjuk (diangkat—pen) Bupati, kepala daerah jang bersangkutan; untuk Kota Sibolga dihundjuk Wali Kota Sibolga; untuk Kota Kutaradja dihundjuk Wali Kota Kutaradja”.
Dalam peraturan miras tersebut ada ketentuan pengecualian: kota, kabupaten, atau residen dalam Sumatera Utara yang sudah memiliki peraturan sendiri soal legalisasi, besaran pajak, dan tata cara berjualan miras tidak diatur dengan Perda Nomor 6.U.U./1955. Daerah-daerah tersebut, misalnya Kota Medan dan Kota Pematang Siantar, tetap menggunakan kebijakan miras sendiri yang telah ada sebelumnya.
Sementara Aceh yang kala itu masih berada di bawah Provinsi Sumatera Utara—setelah peleburan daerah kembali pada 1950—mau tak mau terkena kebijakan tersebut. Lagipula, Aceh termasuk daerah yang belum punya peraturan miras sendiri. Dengan demikian perdagangan miras di Aceh diatur dengan perda baru.
Para kepala daerah di Aceh bisa saja bersiasat dengan menolak setiap permohonan izin agar tak ada perdagangan miras di daerahnya. Namun siasat demikian akan berhadapan dengan ketentuan pada Pasal 4 Ayat (6): “Djika pemintaan ditolak, dalam surat penolakan harus disebutkan alasan-alasannja”. Kepala daerah wajib menjelaskan mengapa permohonan izin investasi miras yang diajukan seseorang tidak dapat dikabulkan.
Masalahnya, faktor keimanan tidak dapat dijadikan alasan. Permohonan izin hanya dapat ditolak jika kedai miras yang hendak dibuka berada dalam kawasan pasar dan “bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, keamanan, dan kesehatan”. Dari hal-hal tersebut, yang terasa dekat dengan religiositas adalah isu “kesusilaan”. Kepala daerah di Aceh pun boleh saja menolak dengan alasan demikian.
Tetapi perda menyediakan celah atau kesempatan lain bagi mereka yang permohonannya ditolak. Mereka diberi kesempatan untuk memohon kepada pejabat yang lebih tinggi, yakni Gubernur Sumatera Utara. Kesempatan ini dibuka selama 14 hari setelah surat penolakan diterbitkan.
Orang yang tidak diizinkan Wali Kota Banda Aceh menjual miras bisa saja mendapatkan keputusan yang berbeda dari Gubernur Sumatera Utara. Apalagi Gubernur Amin terlanjur dikenal sebagai sosok yang sudah sejak lama suka “mengubrak-abrik” peraturan-peraturan asli bikinan orang Aceh sebagai upaya unjuk kuasa.
Dalam Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949 (UI-Press, 1999), Nazaruddin Sjamsuddin mencontohkan unjuk kekuatan oleh Gubernur Amin dilakukan terhadap kebijakan pembatasan ekspor komoditas pertanian yang disahkan Daud Beureueh (Gubernur Militer). Tak lama setelah dikeluarkan, Gubernur Sumatera Utara justru menetapkan “peraturan Gubernur Militer tersebut melawan hukum” (halaman 266).
Gubernur Amin juga dicap sebagai penguasa yang tak suka prinsip-prinsip keagamaan dimasukkan ke dalam peraturan daerah.
“Sebagai seorang ahli hukum, Gubernur S.M. Amin tidak dapat menerima sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Militer yang didasarkan pada prinsip-prinsip agama dan bukan pada aturan-aturan hukum yang berlaku. Oleh karena itulah Gubernur S.M. Amin tidak menyetujui keputusan Gubernur Militer Daud Beureueh untuk menahan orang-orang yang terlibat dalam perjudian, zina, dan pencurian,” tulis Sjamsuddin di halaman 255-266.
Situasi ini menyulitkan Aceh untuk keluar dari lingkaran legalisasi miras. Kalau tak mau menerima kebijakan yang dibuat gubernur, berarti harus bikin peraturan legalisasi sendiri. Sebaliknya, kalau tetap tak mau bikin peraturan sendiri maka perdagangan miras di Aceh akan diatur penguasa Sumatera Utara. Keadaan mungkin akan berbeda kalau sejak awal Aceh sudah punya peraturan miras sendiri, yang mana keputusan pemberian-penolakan izin investasi mutlak ada di tangan para pemimpin di Aceh. Tetapi kebijakan seperti itu tak mungkin dibuat karena berseberangan dengan Islamisme.
Izin miras masa Hindia-Belanda
Perda buatan Gubernur Amin sebenarnya bukan kebijakan legalisasi miras pertama di Aceh. Sebagaimana disebutkan pada lembar penjelasan perda tersebut, pada masa Hindia-Belanda pernah dicetuskan sebuah kebijakan miras khusus untuk daerah Aceh, yakni Drankverordening Atjeh (“Peraturan Minuman Aceh”), yang disahkan pada 30 Januari 1935. Artinya sejarah legalisasi miras di Aceh sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia.
Hal yang sama juga dilakukan Belanda di Sumatera Utara. Hanya saja pengaturan miras secara resmi di Sumatera Utara waktu itu dilakukan dengan kebijakan yang mencakup seluruh Pulau Sumatera. Bukan untuk daerah Sumatera Utara saja. Kebijakan se-Sumatera itu bernama Drankverordening Cultuurgebied Oostikust van Sumatra (“Peraturan Minum di Daerah Kebudayaan Pesisir Sumatera”), yang mulai diberlakukan 15 Februari 1915 (Belanda mengumumkan pemberlakuannya dalam surat kabar Javasche Courant edisi 19 Maret 1915, Nomor 23).
Setelah kemerdekaan, sejumlah aturan miras di tingkat lokal bermunculan di Sumatera Utara. Namun itu semua dibuat para wali kota dan bupati untuk diberlakukan di wilayah masing-masing saja. Tidak berlaku se-Sumatera Utara. Karena itulah Gubernur Amin merasa perlu ada kebijakan baru yang mengatur penjualan miras di seluruh provinsi. Dengan demikian Perda Nomor 6.U.U./1955 dapat dikatakan sebagai peraturan miras tingkat provinsi pertama milik Sumatera Utara.
Perda baru ini memang berisi ketentuan-ketentuan yang cukup teknis mengenai penjualan miras, misalnya pembagian tipe kedai miras dan kadar alkohol. Tetapi hal-hal terperinci itu kenyataannya bukan murni dari isi kepala (kecerdasan) orang-orang Sumatera Utara. Beberapa pasal merupakan hasil “copy-paste”atau mencomot dari kebijakan miras tahun 1915 yang dibuat Belanda:Verordening Houdende Bepalingen Tot Regeling van den Verkoop van Sterken Drank (“Kebijakan yang Mengatur Penjualan Minuman Keras”). Peraturan ini mulai diberlakukan di Aceh pada 30 Januari 1915 (Dispursip Aceh, AC01-116/8-116.3).
Oleh Belanda, tempat atau cara berjualan miras dibagi menjadi dua. Ketentuannya: “De verkoop wordt onderscheiden in verkoop: (a) voor gebruik ter plaate van verkoop; (b) voor gebruik elders dan terplaate can verkoop”.
Pasal ini kemudian dicomot mentah-mentah oleh Pemerintah Sumatera Utara. Alhasil di semua daerah yang diatur dengan perda baru tersebut juga terdapat dua jenis cara atau tempat menjual miras, yakni “pendjualan untuk diminum ditempat pendjualan” dan “pendjualan untuk diminum ditempat lain” (Pasal 3).
Cara menjual miras bagi kedai yang hanya menjual, bukan tempat minum-minum, juga meniru kebijakan 1955. Minuman yang dijual “harus berada dalam botol, gutji, kan (teko—pen), dan sebagainja, jang ditutup dengan kaju gabus dan dari atas sampai seluruh kepala botol, gutji dan kan itu diselubungi dengan bahan dari timah dan sebagainja atau dilak, jang sedikit-sedikitnja berisi tiga desiliter”.
Sementara itu, ada pula ketentuan yang mulanya ditiru lalu sedikit dimodifikasi. Mengekor kebijakan Belanda, Pemerintah Sumatera Utara menetapkan bahwa perda mereka “diperuntukkan bagi pendjualan minuman keras dalam djumlah sedikit”. Akan tetapi angka yang digunakan Belanda sebagai acuan “sedikit” tak dipakai oleh Gubernur Amin. Belanda menetapkan kebijakan mereka hanya berlaku bagi penjualan yang jumlahnya “kurang dari 10 liter” untuk setiap jenis miras (tuak, bir, nira, nira enau, nira kelapa yang dipahitkan). Sementara dalam perda Sumatera Utara batasannya adalah 4,5 liter.
Sontekan lainnya adalah soal penjualan miras di kompleks militer. Kebijakan Belanda soal itu berbunyi: “De bepalingen van dese verordening hebben geen betrekking op de militaite cantinnes”. Pemerintah Sumatera Utara cuma menyesuaikannya dengan konteks Indonesia: “Ketentuan-ketentuan tersebut dalam peraturan-daerah ini, tidak berlaku terhadap cantine kepunjaan angkatan perang (Angkatan Darat, Laut dan Udara) Republik Indonesia”.
Tentu perda tersebut berisi pula ketentuan-ketentuan yang murni hasil analisis perancangnya. Apa yang baru misalnya adalah besaran pajak penjualan miras. Gubernur Amin menetapkan besaran pajak untuk “kedai tempat beli dan minum miras” berbeda dengan “kedai miras tanpa tempat minum”. Kedai tempat jual-minum dikenai pajak lebih besar, yakni Rp 300 per tahun. Sementara kedai yang barang dagangannya diminum di tempat lain cuma membayar Rp 240 per tahun. Akan tetapi karena dinilai sangat memberatkan, sebulan kemudian ketentuan besaran pajak ini direvisi. Dalam Surat Nomor: 47821/2-2401/12/Des, Pemerintah Sumatera Utara mengumumkan:
“Setelah ditindjau kembali adalah terlalu tinggi buat pendjualan2 tuak dan minuman jang sedjenis dengan itu, maka dikandung maksud untuk mengadakan peraturan-perobahan buat menurunkan tarip2 itu (chusus atas pendjualan tuak, segaweer dsb)”.
Hasil revisinya: kedai jual-minum dibebankan pajak Rp 75 per tahun, sedangkan kedai jual sebesar Rp 60 per tahun. Yang tidak direvisi adalah aturan bahwa pajak miras mesti dilunasi saat surat izin penjualan hendak diambil, bukan pada akhir tahun. Sementara izin tersebut hanya berlaku selama satu tahun. Pada tahun berikutnya, orang yang ingin melanjutkan penjualan mesti mengurus izin baru dan sambil melunasi pajaknya saat pengambilan surat.
Para pedagang juga diharuskan memasang sebuah pemberitahuan yang menerangkan apakah kedai mereka tergolong sebagai tempat jual-minum atau cuma tempat jual. Keterangan “Tidak Dipakai Ditempat Pendjualan” atau “Dipakai Ditempat Pendjualan” mesti ditempelkan di bagian depan kedai.
Larangan yang dikenakan terhadap para pedagang miras ada tiga. Pertama, kedai miras dan bangunan lain yang berdempetan dengannya tidak boleh dijadikan tempat membayar upah, kecuali upah pekerja di tempat tersebut. Mungkin tujuannya untuk menghindari praktik pembayaran upah pekerja dalam bentuk traktir miras, bukan uang. Atau bertujuan mencegah orang menghabiskan (sebagian) upahnya untuk minum-minum. Kedua, tidak boleh menjual miras kepada anak di bawah umur. Ketiga, tidak boleh “mengadakan pertunjukan seperti pertunjukan musik dan lain-lain sebagainja jang dapat didatangi oleh umum”.
Soal jam buka pun diatur. Kedai miras tak diperbolehkan buka 24 jam. Penjualan miras hanya diperkenankan dari jam 6 pagi sampai jam 11 malam. Saat malam hari, kedai tidak boleh berada dalam kondisi gelap atau remang-remang. Pada Pasal 16 disebutkan: “Semendjak matahari terbenam sampai pada waktu ditutup harus tjukup terang”.
Pedagang yang membuka kedai di luar waktu tersebut akan dikenai hukuman kurangan selama tiga bulan dan denda sebesar Rp 100 (lebih banyak dari besaran pajak tahunan). Barang dagangan pun akan disita pemerintah daerah.
Hukuman demikian juga akan dijatuhkan terhadap praktik penjualan tanpa izin, penyalahgunaan izin, menjual miras kepada anak di bawah umur, memperdagangkan miras yang diracik dengan zat berbahaya, dan sejumlah bentuk pelanggaran lainnya.
Walaupun ada batasan-batasan, para pemimpin Aceh tetap tak suka dengan kebijakan legalisasi investasi miras di Aceh. Terutama sekali para pemberontak Darul Islam. Mereka anti-miras bukan tok karena faktor agama. Ketaksukaan itu disulut pula oleh kelakuan sejumlah aparat bersenjata negara yang memakai miras untuk menyiksa para tahanan.
Salah satu kasus penyiksaan dengan teknik pencekokan miras semasa pemberontakan dapat ditemukan dalam Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. S.M. Amin (Pustaka Murni Hati, 1956), sebuah buku putih Darul Islam Aceh yang disusun A.H. Geulanggang.
“Tengku Tjut Adik … bukan (cuma) dipukul dan dilisterikkan, malahan disugukan dan dipaksa minum bier sampai mabuk, kemudian dikirimkan ke Medan,” tulis Geulanggang di halaman 101.
Bisma Yadhi Putra, esais dan peneliti.