*Oleh Muhammad Zaldi
Sejak mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 di puncak Gunung Halimon, Hasan Tiro sudah menunjukan jati diri sebagai seorang Aceh. Tentang bagaimanaa seorang Aceh bersikap ketika bangsanya dijajah oleh Jawa (penulisan kata Jawa dalam tulisan ini bukan berarti rasis, pemahaman jawa dalam tulisan ini lebih merujuk pada sistem perpolitikan yang di praktekan kepada kaum minoritas pada masa itu).
Rasa tanggung jawab yang dipikul oleh Hasan Tiro sebagai penerus dari “Keluarga Tiro” yang sudah syahid berperang melawan Belanda, dan dilanjutkan demi bangsa Aceh. Nilai-nilai yang ia tinggalkan rasanya sangat berharga. Hasan Tiro tak sekedar deklarator Aceh Merdeka, tetapi lebih dari itu. Ia adalah seorang pahlawan, ia “Sang Ideolog”. Sekarang kita tidak mendapati lagi sosok Hasan Tiro. Kepergiannya pada sang Khalik meninggalkan duka, namun semangat yang diajarkannya tak pernah reda!
Semangat keacehan yang ia tanamkan pada generasi saat itu, masih melekat pada kebanyakan generasi Aceh. Kini, era keacehan sudah kembali. Rasa optimistis tentang Aceh yang akan mencapai kembali puncak kejayaannya sudah dekat. Sepertiyang pernah Hasan Tiro katakan “Kepadamu tidak kuajarkan kerja, tapi perang. Kepadamu tidak kuajarkan damai, tapi menang. Jadikan kerja untuk perang, jadikan damai untuk menang”. Generasi ke masa kini bukanlah generasi yang buta dan tuli, kami dilahirkan dari rahim-rahim yang dikandung oleh para ibu pada masa konflik.
Biarkan saja mereka menerka bagaimana generasi Aceh masa kini. Bagi saya, Hasan Tiro tidak gagal. Ia sukses menanamkan nasionalisme keacehan, dari sosoknya yang misterius. Generasi kini mencari sendiri siapa Hasan Tiro itu, apa yang ia perjuangkan, apa yang ia dapatkan dalam perjuangan. Saya memahami beliau sebagai sosok yang tahu bagaimana cara mati dengan mulia. Ia tak berkhianat pada bangsanya seperti orang seberang.
Hari ini, setelah 44 tahun pasca deklarasi pada 4 Desember 1976 di puncak Halimon. Aceh harus berani menunjukan jati dirinya sebagai seorang Aceh. Tak perlu ada yang malu menjadi seorang Aceh, kita adalah bangsa merdeka sejak Neugara Kerajaan Aceh Darussalam berdiri, pada indatu kita tidak pernah menyerahkan dan berhenti berperang melawan penjajah. Bahkan hingga kini, kita masih melakukan perlawanan walaupun dengan jalan yang berbeda. Politik adalah cara untuk mencapai kemenangan. Jadikan diri kita sebagai seorang Aceh, karena kesejahteraan hanya di dapat setelah kita menang.
Sudah 11 Tahun Wali Hasan pergi sejak 03 Juni 2010 silam. Banyak kenangan atas segala perjuangan yang telah ia perjuangkan bersama pasukan yang kini hanya menyisakan kenangan. Sakit yang serius, adalah kematian yang mendadak tulis Nezar Patria dalam buku Hasan Tiro The Unfinished Story of Aceh. Wali Hasan tidak pernah mau terlihat sakit, tak seorangpun pengikutnya di Aceh tahu bagaimana kondisinya setelah terkena stroke. Beliau hidup tersembunyi di apartemen yang sunyi di Norsborg. Jauh sebelum memulai perjuangannya, Wali Hasan sempat berada pada situasi eksistensial. Suatu pilihan sulit, antara yang kini mapan dan yang tak pasti di masa depan. Dalam kegamangan itu, pada suatu hari Wali Hasan terpaku pada satu rak di toko buku di Fifth Avenue, New York. Matanya tak lepas mengeja karya filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Ia terbenam dalam aporisme Thus Spoke Zarathustra. Jiwanya terpanggil, terus-menerus mencengkeram pikirannya. Seperti Aceh yang terus menerus memanggilnya.
Kini Wali Hasan sudah tiada, ia meninggalkan pemikiran dan hasil perjuangan seperti yang kita rasakan sekarang. Apa yang masyarakat Aceh rasakan hari ini adalah mutlak hasil dari perjuangan kelompok yang dipimpin oleh Wali Hasan. Terlepas dari berbagai pandangan bahwa perdamaian hanya milik segelintir kelompok, tapi hal itu tidak menjadi dasar pembenaran. Jika masyarakat Aceh berpikir demikian, maka ini adalah wujud ada campur tangan pihak luar untuk memperkeruh suasana dan membuat perdebatan pada kita sesama Aceh.
15 Agustus 2005 bukanlah akhir dari perjuangan, itu hanya fase jeda dan transisi untuk merubah arah dari perang senjata ke perang politik. Sungguh jika itu hal yang menurut penulis pahami akan menjadi satu langkah yang konkrit jika memang mampu di realisasikan butir-butir MoU Helsinki seutuhnya. Pastinya langkah dalam mewujudkan terealisasinya butir-butir itu tidak akan berjalan mulus dan penuh hambatan, karena sejatinya setiap yang menghambat terealisasinya butir-butir MoU ini adalah orang-orang yang tidak senang atau dalam kata lain “musuh” bagi kemaslahatan rakyat Aceh.
Kini MoU Helsinki tak berdampak hebat bagi rakyat Aceh, masih banyak anak yang tak punya masa depan cerah karena tak mengenyam pendidikan layak, masih banyak janda yang tak sanggup membeli susu untuk bayinya, masih terlalu banyak orang tua yang sudah sepuh tinggal digubuk peyot. Semakin bertambah lamanya umur perdamaian, Aceh semakin menjadi-jadi saja. Kesepahaman yang terjadi di Helsinki tak benar-benar paham apa yang terjadi di Aceh hari ini dalam bingkai NKRI harga mati!
Kelak, sejarah akan mencatat bahwa sebuah kesalahan menjadikan MoU Helsinki sebagai role model perdamaian dunia. Sebab yang menderita tetap rakyat dan terus rakyat dan akan selalu rakyat. Jika memang tak punya niatan atau keberanian merealisasikan seluruh point yang termaktup dalam MoU Helsinki, setidaknya jangan terus menerus membohongi. Jelaskan pada kami bahwa sekarang MoU Helsinki hanya sebatas seremoni.
Kita pernah mendengar sebuah teori, atau sebut saja sebuah metode ‘belajar sambil melakukan’- learning by doing. Teori dan metode tersebut pertama kali dikenalkan oleh seorang filosof asal Amerika yang lahir pada 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont Amerika Serikat, yaitu John Dewey.
Aceh mesti melakukan metode ini, learning by doing, hal ini dikarenakan selama ini kita tampak enggan belajar dari masa lalu, dan cenderung melakukan hal yang sama. Manusia Aceh hari ini bak keledai yang terus menerus jatuh ke lubang yang sama. Melakukan sesuatu perjuangan politik, tanpa pernah mau belajar dari pengalaman, phak luyak !
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry.
Email : Muhammadzaldi1001@gmail.com.