Nukilan.id – Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini Gempa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyatakan alat yang mereka kembangkan tak pernah dirancang untuk mendeteksi gempa kecil. Pernyataan itu untuk menjawab keraguan sebagian kalangan atas presisi metode alat dan klaim keberhasilan prediksi gempa yang sudah mereka umumkan.
Keraguan di antaranya datang dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG yang menyodorkan catatan bahwa klaim prediksi gempa tim peneliti itu hanya untuk gempa dengan Magnitudo kurang dari 5,3. BMKG tak terkesan dengan klaim itu karena menilai peluang kejadian gempa yang disebutnya kecil-kecil seperti itu di wilayah Indonesia sangat tinggi.
BMKG, seperti diketahui, selama ini menyatakan belum ada teknologi yang mampu memprediksi kejadian gempa bumi. Riset panjang yang sudah dilakukannya pun belum ada yang memberikan hasil konsisten. Oleh karena itu BMKG menantang tim dari UGM membuat prediksi gempa-gempa besar untuk bisa meyakinkannya.
Menjawab tantangan dan keraguan itu, Ketua Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini Gempa UGM, Sunarno, membenarkan bahwa gempa-gempa berkekuatan kecil lebih sering terjadi daripada yang besar. Dia juga tak membantah penilaian lebih mudah memprediksi gempa-gempa yang lebih kecil atau lemah.
Tapi, justru gempa-gempa kecil itu yang diaku Sunarno dihindari untuk dideteksi alat EWS yang dikembangkannya. “Alat ini kami rancang hanya untuk mendeteksi gempa dengan kekuatan di atas 4,5 Skala Richter,” katanya kepada TEMPO, Kamis 3 Juni 2021.
Pengajar dan pemilik gelar profesor di Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Fakultas Teknik UGM itu menuturkan, gempa-gempa kecil sengaja diabaikan oleh alat itu karena dianggap terlalu banyak noise yang justru mengganggu kerja alat. “Kalau di atas 4,5 skala richter itu secara empiris sudah terbukti terbaca lebih jernih gejalanya melalui alat ini,” katanya lagi.
Alat menerapkan teknologi triangulasi untuk mengunci gejala kejadian gempa bumi. Cara kerjanya, alat itu mengandalkan sensor untuk membaca perilaku air sumur dan tekanan gas radon dalam tanah. Dua indikator itu akan mengirimkan algoritma pesan ke server aplikasi yang dibuat tim secara berkala setiap tiga menit.
“Dua indikator itu yang sekarang kami pakai untuk mendeteksi gempa di DIY, dan ternyata tiga hari sebelum gempa terjadi, gejalanya berhasil dibaca lewat alat itu,” kata Sunarno yang juga turut merancang early warning sistem untuk memantau kondisi Gunung Merapi itu.
Tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem peringatan dini gempa bumi yang mampu mendeteksi terjadinya gempa bumi 1-3 hari sebelumnya. Kredit: ugm.ac.id
Terhadap tantangan membuat prediksi gempa besar, Sunarno menjawabnya dengan harapan bisa menyebar lebih banyak alat yang dikembangkannya tersebut. Saat ini, menurut profesor yang juga pernah tergabung dalam tim pengembang roket nasional Kementerian Riset dan Teknologi itu, alat belum bisa terlalu fokus karena baru tertanam di DIY sebanyak lima titik.
“Hanya saja setiap kali alat itu memberi laporan air sumur dan gas radon naik, beberapa hari berikutnya pasti terjadi gempa di titik sepanjang Aceh hingga NTT,” kata dia. [tempo]