Audit 18 Kegiatan, BPKP Aceh Temukan Kerugian Keuangan Negara Rp 44,4 Miliar

Share

Nukilan.id – Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh kembali mengejutkan tentang angka kerugian keuangan negara. Hasil audit tahun 2020 dan 2021 terhadap 18 kegiatan mencapai Rp 44,4 miliar.

Menurut kepala Kepala Perwakilan BPKP Aceh, Indra Khaira Jaya, S.E.Ak., M.M., C.A., QIA., audit yang dilakukan dalam dua tahun ini atas 18 kegiatan dilakukan pihaknya sehubungan dengan permintaan aparat penegak hukum yang menangani kasus dugaan tindak pidana korupsi di sejumlah kabupaten dan kota di Aceh.

Hal itu dijelaskan Indra Khaira saat memaparkan “Perencanaan Penganggaran, serta Capaian Kinerja BPKP dalam Mengawal Pencapaian Pembangunan Daerah”, pada Rapat Koordinasi Pengawasan Intern (Rakorwasin) Keuangan dan Pembangunan Tingkat Aceh.

Saat pemaparan di Gedung Serbaguna Sekretariat Daerah Aceh, Rabu, 2 Juni 2021, dengan tema “Perencanaan Berkualitas Mewujudkan Aceh Terbebas dari Korupsi dan Kemiskinan”, itu diikuti Bupati/Wali Kota, dan Inspektur se-Aceh, Indra Khaira merinci hasil audit mereka.

Menurutnya, hasil audit BPKP berupa 18 kegiatan. Sepuluh kegiatan diaudit tahun 2020, dan delapan pada 2021 ini. Audit tersebut; pengadaan ternak, sertifikasi tanah, pengembangan tanaman tembakau.

Pemeliharaan jalan jembatan, PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat), pembangunan pasar tradisional, pembangunan tanggul, pelayanan rumah tangga legislatif, pembangunan jembatan, penyaluran beasiswa dan pendidikan, peningkatan jalan, dan beberapa kegiatan lainnya.

Menurutnya, audit terhadap kegiatan-kegiatan tersebut salah satu bentuk pengawasan secara represif yang dilakukan BPKP Aceh.

Sementara hasil pengawasan dilakukan BPKP Aceh secara preventif, yaitu reviu atas usulan penambahan pagu anggaran untuk penyelesaian proyek strategis nasional terdapat koreksi kebutuhan dana ±Rp132,1 miliar.

“Reviu atas perencanaan pekerjaan multiyears contract pembangunan di daerah terdapat koreksi atas harga satuan ±Rp144,8 miliar, dan koreksi atas volume ±Rp118,5 miliar,” jelas Indra.

Selain itu, BPKP Aceh juga melaksanakan pengawasan secara konsultatif berupaya pendampingan atas akuntabilitas percepatan penanganan Covid-19 pada salah satu kabupaten. Hasilnya, terdapat pembatalan kegiatan yang tidak urgen terkait penanganan Covid-19 senilai Rp500 juta.

“Dalam hal data Bansos (bantuan sosial), atas 1,1 juta penerima manfaat, masih terdapat 85 ribu data invalid dan 58 ribu penerima ganda,” kata kepala BPKP Aceh ini.

Dijelaskan Indra, pihaknya menilai sesuai dengan hasil pengawasan adanya permasalahan dalam perencanaan penganggaran.

Menyinggung tentang salah satu misi Pemerintah Aceh “Revitalisasi fungsi-fungsi Perencanaan Daerah dengan Prinsip Perencanaan Berbasis Bukti yang Efektif, Pengerjaannya Efisien, dan Berkelanjutan, Indra menjelaskan.

Menurutnya, dari misi tersebut menunjukkan bahwa perencanaan merupakan kunci keberhasilan pencapaian tujuan; perlunya pengawalan akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas pembangunan; dan fokus pengawasan mengawal tercapainya tujuan pembangunan (outcome).

Sasaran evaluasi untuk memastikan akuntabilitas pembangunan dalam bentuk kinerja atau program follow result dan akuntabilitas keuangan adalah money follow program. Pada kesempatan itu, kepala BPKP Aceh juga menjelaskan soal progres evaluasi dilakukan BPKP Aceh sampai 31 Mei 2021.

Pertama dijelaskan Indra, dengan nilai anggaran yang dievaluasi ±Rp745 miliar, terdapat di antaranya ±Rp477 miliar atau 64% berpotensi anggaran tidak efektif. Kegiatanya tidak selaras dengan sasaran kegiatan program OPD (organisasi perangkat daerah) maupun Pemda.

Indikator kinerjanya tidak relevan, dan tidak terukur secara objektif dan spesifik. Kedua, terdapat subkegiatan yang tidak efisien, sementara senilai ±Rp8 miliar.

Penyebab dasar terjadinya permasalahan, menurut Indra, pertama, adanya modus dalam PBJ (pengadaan barang dan jasa): Kebutuhan dan inisiatif pengadaan barang/jasa berasal dari penyedia; pengadaan barang konstruksi tanpa adanya spesifikasi teknis, HPS dan rancangan kontrak; dan pemecahan paket atas jenis pekerjaan dan waktu yang sama untuk menghindari proses lelang.

Penyebab kedua, perencanaan yang buruk. Tidak ada keterkaitan sasaran OPD dengan sasaran strategis Pemda; kualitas sasaran strategis OPD/sasaran program belum berorientasi hasil; indikator kinerja sasaran strategis OPD/sasaran program serta penetapan target kinerja dari program/kegiatan/subkegiatan tidak tepat dan tidak dapat diukur; dan rincian belanja dari subkegiatan tidak sesuai maksud dari subkegiatan.

Menurut Indra, dampak atas permasalahan tersebut, pertama berpengaruh pada tingkat kemiskinan tahun 2020 di Aceh. Berdasarkan data dirilis BPS Provinsi Aceh, pada September 2020 jumlah penduduk miskin di Aceh sebanyak 833,91 ribu orang (15,43%), bertambah 19 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2020 yang jumlahnya 814,91 ribu orang (14,99%).

Dampaknya kedua, tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2020 di Aceh. Mengacu data dalam “Laporan Perekonomian Provinsi Aceh Februari 2021” yang diterbitkan Bank Indonesia, secara spasial, kontraksi ekonomi terdalam di Sumatera terjadi di Kepulauan Riau (-4,46%, yoy), Aceh (-2,99%, yoy), serta Sumatera Utara (-2,94%, yoy).

Ketiga, papar Indra dalam pertemuan itu, masih rendahnya serapan anggaran tahun 2021. Berdasarkan data ditayangkan https://p2k-apba.acehprov.go.id, dari total APBA 2021 Rp16,7 triliun, target realisasi sampai 31 Mei ialah keuangan dan fisik masing-masing 20 dan 25 persen. Namun, realisasi sampai 27 Mei, keuangan dan fisik masing-masing 15,9 dan 21 persen.

Dampak keempat, terjadinya tindakan hukum. Banyak ASN akan tersangkut hukum dan rentan dipecat dengan tidak hormat jika diputus bersalah di pengadilan terkait TPK (tindak pidana korupsi).

Pada Rakorwasin itu tim BPKP juga dijelaskan prioritas pengawasan, pengawasan mulai perencanaan penganggaran, kinerja pengawasan tahun 2020-2021 dan strategi solusi.

Dalam rakorwasin itu dijelaskan agenda prioritas pengawasan BPKP, terdiri dari pengawasan berskala nasional yang juga berkaitan dengan daerah. Ada 15 prioritas.

Ke lima belas prioritas itu diantaranya sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ketahanan pangan, energi, pariwisata, penanggulangan bencana, TKDN, penanganan Covid, akuntabilitas kekayaan negara/daerah yang dipisahkan (BUMN/D, BLUD, BUMG dan tata kelola instansi pemerintah (SPIP, APIP dan Risk Fraud) di daerah.

Dijelaskan, khusus di Aceh terdapat prioritas pengawasan tematik, yaitu audit Dana Otsus, Baitulmal dan multiyears contract dan akuntabilitas keuangan daerah berupa audit perencanaan penganggaran serta tata kelola pemerintah daerah dalam bentuk SPIP terintegrasi.

Menurut data dari BPKP Aceh, agenda pengawasan tersebut dilandasi kebutuhan stakeholders utama BPKP mulai dari Bapak Presiden, Menteri dan Kepala Daerah dalam mewujudkan tujuan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat yang dituangkan dalam bentuk visi dan misi kepala pemerintahan pusat dan daerah yang patut didukung dan diwujudkan.

APIP sebagai mitra kerja strategis pemerintah berkewajiban mendukung perwujudan pencapaian tujuan, visi dan misi pimpinan pemerintahan pusat dan daerah tersebut.

Pihak BPKP juga menjelaskan, berdasarkan dinamika dan isu serta tuntutan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini bahwa pembangunan harus ter-delivery kepada masyarakat sebagai penerima manfaat.

Di sisi lain anggaran terserap tetapi masyarakat tidak merasa manfaat dan masih terdapat in-efesiensi, in-efektifitas dan tidak ekonomisnya kegiatan pembangunan menuntut pengawasan harus dimulai dari perencanaan dan penganggaran.

Tuntutan tersebut mendapat pembenaran dari hasil pengawasan yang dilakukan BPKP Aceh dua tahun terakhir 2020-2021 (sampai Mei 2021) dari sisi pengawasan preventif, represif dan konsultatif dengan permasalahan-permasalahan.

Yaitu, secara preventif, masih ditemui potensi in-efektif belanja dengan total nilai 472,2 miliar, data penerima Bansos invalid sebanyak 85 ribu, dan 58 ribu penerima ganda, serta eksekusi dana bantuan Nakes baru mencapai 50,61% dari anggaran 83 miliar.

Menurut penjelasan pihak BPKP dalam Rakorwasin itu, cecara represif, terdapat 18 kasus tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara mencapai 44,4 miliar. Secara konsultatif sampai Mei 2021, kapabilitas APIP, maturitas SPIP masing-masing masih di posisi 33,33% dan 40%. MRI Pemda masih rata-rata level 1, dan 6 PDAM yang kurang sehat dan 8 PDAM masih sakit.

Juga terdapat 5 Pemda yang terlambat dalam menyusun APBD dan tingkat kemandirian keuangan daerah hanya sebesar 12,38%. Namun demikian 24 Pemda (100%) telah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Hasil audit dan beragam persoalan yang muncul, perlu komitmen yang sungguh-sungguh antara BPKP bersama Pemda se-Aceh untuk berkolaborasi dan bersinergi dalam mengawal perencanaan dan penganggaran APBA/APBK 2021 dan APBA/APBK 2022.

Selain itu melakukan pengawalan pencapaian kinerja APBA/APBK 2021. Melaksanakan probity audit pada kegiatan yang bernilai material dan berpengaruh besar pada kehidupan public.

Mengawal terwujudnya sistem pengendalian intern pemerintah terintegrasi; dan meningkatkan kapabilitas SDM APIP guna mengawal akuntabilitas keuangan dan pembangunan.

Dalam Rakorwasin yang diikuti Bupati/Wali Kota, dan Inspektur se-Aceh ini, adanya komitmen antara BPKP bersama Pemda se-Aceh, berkolaborasi dan bersinergi dalam mengawal perencanaan dan penganggaran APBA/APBK 2021 dan APBA/APBK 2022. [dialeksis]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News