NUKILAN.ID | JAKARTA – Krisis kemanusiaan akibat bencana di Sumatera kian memburuk. Jumlah korban jiwa telah mencapai 914 orang dan diperkirakan terus bertambah seiring terbatasnya akses transportasi, listrik, serta air bersih. Di banyak lokasi, relawan kesulitan masuk karena infrastruktur terputus, sementara kebutuhan dasar warga semakin mendesak.
Melihat kondisi tersebut, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII) Felia Primaresti mendesak pemerintah segera menetapkan status darurat nasional. Ia menilai keterlambatan pemerintah berdampak serius bagi kelompok rentan.
“Tanpa status darurat nasional, mekanisme perlindungan kelompok rentan tidak menjadi prioritas negara dan penanganan ya menjadi tidak optimal. Anak-anak, lansia, perempuan, dan penyandang disabilitas adalah kelompok yang paling terdampak. Ini bukan hanya soal banjir atau longsor, tetapi soal hak atas keselamatan dan layanan dasar bagi setiap warga negara,” tegas Felia dalam keterangan resminya pada Senin, (8/12/2025).
Felia juga mengungkap bahwa sejumlah tawaran bantuan internasional sebenarnya sudah muncul, namun tertahan karena belum adanya penetapan status darurat nasional. Ia mencontohkan kesiapan Uni Emirat Arab memberikan dukungan kemanusiaan.
“UEA sudah menyatakan siap memberikan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana di Sumatera—namun semua itu menunggu lampu hijau dari pemerintah Indonesia. Keengganan menetapkan status darurat nasional sama saja dengan menutup pintu bantuan internasional di saat rakyat sangat membutuhkan dukungan,” ujarnya.
Dalam kacamata politik, Felia melihat adanya kecenderungan pemerintah menghindari risiko yang mungkin muncul jika menetapkan status darurat nasional. Menurutnya, status tersebut menuntut transparansi lebih besar, audit penggunaan anggaran, serta pengakuan bahwa kapasitas pemerintah tidak cukup untuk menangani bencana dengan mekanisme standar.
“Pemerintah tampak berhitung secara politik. Penetapan darurat nasional dianggap dapat memperlihatkan kelemahan institusional dan kegagalan mitigasi, sehingga keputusan ditunda meskipun kondisi lapangan menunjukkan urgensi,” jelasnya.
Padahal, tambahnya, keselamatan masyarakat seharusnya berada di atas pertimbangan citra politik. Ia juga menyoroti lemahnya tata kelola penanganan bencana yang terlihat dari lambannya proses birokrasi dan distribusi bantuan yang tersendat. Beberapa pemerintah daerah di wilayah terdampak bahkan telah menyatakan tidak lagi sanggup menangani situasi.
“Ini bukan sekadar soal nomenklatur kebencanaan; ini soal kapasitas negara dan mindset pejabat publik dan political will dan komitmennya dalam merespons bencana besar, mengambil tindakan cepat, melakukan audit terbuka, dan bertanggung jawab atas kegagalan tata kelola. Pemerintah wajib menunjukkan sense of urgency yang sebanding dengan skala kerusakan dan penderitaan masyarakat,” tutup Felia. (XRQ)





