NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Penganugerahan gelar kehormatan “Petua Panglima Hukom Nanggroe” kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian oleh Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar, pada Rabu, 12 November 2025, memunculkan perdebatan di tengah masyarakat.
Prosesi yang berlangsung di Meuligoe Wali Nanggroe Aceh, Aceh Besar, itu menuai sorotan karena publik mempertanyakan kontribusi nyata Tito bagi Aceh.
Menanggapi polemik tersebut, Ketua Ikatan Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Syiah Kuala (USK), T. Auliya Rahman, yang kini sedang menempuh studi Magister Islam Pembangunan dan Kebijakan Publik di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memberikan pandangannya kepada Nukilan.id.
“Sejujurnya, saya tidak begitu kaget ketika membaca berita tentang penganugerahan gelar yang diberikan oleh Malik Mahmud selaku Wali Nanggroe kepada Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri. Pemberian gelar kepada tokoh nasional memang bukan hal baru dalam budaya protokol Aceh,” ujarnya.
Auliya menjelaskan, praktik pemberian gelar kepada tokoh nasional bukan pertama kali terjadi. Ia kemudian menyinggung kasus serupa yang sempat menjadi perbincangan publik beberapa tahun lalu.
“Pada 2022, misalnya, Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe pernah menganugerahkan gelar kepada Ganjar Pranowo. Bahkan, gelar yang diberi kala itu adalah ‘Teuku’ yang mana ini gelar bangsawan laki-laki Aceh, walaupun kemudian direvisi menjadi ‘Teungku’, gelar bagi tokoh agama,” sambungnya.
Menurutnya, dinamika seremonial tersebut sering kali tidak terlepas dari konteks politik yang lebih luas. Auliya menilai langkah-langkah seperti itu kerap menjadi bagian dari strategi membangun kedekatan dengan figur nasional.
“Mengingat saat itu Ganjar merupakan figur yang diunggulkan sebagai calon pengganti Presiden Jokowi, bukan tidak mungkin MAA Lhokseumawe ingin mengambil ‘start’ lebih cepat untuk membangun relasi,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa praktik pemberian gelar semacam ini menunjukkan adanya perubahan orientasi dalam sebagian elit Aceh, yang tidak lagi menempatkan rekam jejak dan kontribusi nyata sebagai dasar utama.
“Fenomena ini menyiratkan satu hal, bahwa mentalitas sebagian elit Aceh hari ini tak lagi mempedulikan rekam jejak maupun kapasitas seseorang. Sumbangsih terhadap Aceh seolah tak ada artinya ketika relasi kuasa lebih menentukan layak tidaknya seseorang diberi kehormatan,” tutup Auliya. (XRQ)
Reporter: AKIL



