Industri Hulu Migas, Akselerator Kebangkitan Ekonomi dan SDM Aceh

Share

NUKILAN.ID | FEATURE – Di balik geliat perekonomian sebuah daerah, ada tenaga kerja lokal yang menjadi denyut nadinya. Mereka hadir dalam keseharian, yakni menciptakan barang dan jasa, menopang bisnis kecil di kampung-kampung, hingga menggerakkan roda konsumsi lewat daya beli.

Dari tangan mereka, pertumbuhan ekonomi menemukan pijakan. Kian banyak dan kian berkualitas tenaga kerja lokal, kian besar pula harapan terciptanya lapangan kerja baru dan terangkatnya kesejahteraan masyarakat.

Namun Aceh pernah merasakan pahitnya kehilangan denyut itu. Saat PT Arun NGL Co berhenti beroperasi di Lhokseumawe pada Oktober 2014, seolah ikut padam pula sumber kehidupan ekonomi yang selama empat dekade menjadi kebanggaan sekaligus penopang kesejahteraan masyarakat.

Arun bukan sekadar industri, ia ikon kejayaan LNG Indonesia. Kepergiannya menyisakan luka, ekonomi lesu, dan pada Maret 2025, Badan Pusat Statistik mencatat Aceh menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Sumatera, yakni 12,33 persen.

Kini, harapan mulai tumbuh kembali. Hadirnya proyek industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di sejumlah lokasi lepas pantai Aceh memberi angin segar bagi ekonomi Serambi Mekkah. Potensi migas Aceh terbilang signifikan, didukung lokasi strategis untuk pengembangan teknologi energi baru seperti penangkapan dan penyimpanan karbon hingga industri blue hydrogen.

Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) mencatat, provinsi seluas 58.376 kilometer persegi ini memiliki sejumlah blok migas potensial, di antaranya Blok Andaman, Blok B, Blok A, dan blok lepas pantai Lhokseumawe. Dalam dua tahun terakhir, penemuan cadangan baru kian mempertegas prospek sektor migas Aceh.

Perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Mubadala Energy, misalnya, menemukan cadangan gas lebih dari 6 TCF di Blok South Andaman. Sementara Pertamina Hulu Energi (PHE) menemukan gas hidrokarbon dan kondensat di lepas pantai Lhokseumawe pada 2023. Penemuan ini diyakini mampu memperkuat peta energi nasional sekaligus mengonfirmasi potensi besar migas Aceh setelah masa kejayaan LNG Arun.

Kepala BPMA, Nasri Djalal, mengatakan kehadiran industri hulu migas tidak hanya membawa investasi, tetapi juga peluang kerja bagi masyarakat lokal. Sejak berdiri pada 2015, BPMA berperan sebagai regulator hulu migas di darat dan laut hingga 12 mil laut di Aceh.

“Kami di BPMA mengontrol pegawai di seluruh industri migas di Aceh. Dari manajer ke bawah harus orang Aceh, kecuali untuk posisi tertentu yang memang belum ada SDM lokal di bidang tersebut,” kata Nasri dalam wawancara dengan Nukilan.id, Kamis (25/9/2025).

Namun, Nasri menegaskan, peluang tersebut datang bersama tantangan. Rekrutmen di industri migas sangat kompetitif. “Anak muda Aceh yang ingin terjun ke migas harus cakap akademik, punya skill bahasa Inggris yang baik, pengalaman, dan sertifikasi. Itu modal utama untuk bisa bersaing,” ujarnya.

Kesempatan itu dimanfaatkan langsung oleh Teuku Muhammad Farhan, lulusan Politeknik Negeri Lhokseumawe. Ia jeli melihat peluang bekerja di sektor migas. Kepada Nukilan.id, Farhan bercerita bahwa ia sudah dua tahun bekerja sebagai instrument technician di PT PEMA Global Energi yang beroperasi di Aceh Utara.

Sejak kecil, Farhan kerap mendengar kisah tentang kejayaan Arun LNG. Bagaimana industri gas alam cair itu membuat banyak keluarga di Aceh Utara sejahtera. Kisah-kisah itu menumbuhkan rasa penasaran sekaligus tekad kuat dalam dirinya: suatu saat ia harus bisa bekerja di dunia migas.

“Waktu kuliah, saya bertekad ingin masuk ke industri migas. Jadi sejak awal saya sudah mempersiapkan diri, ikut kursus tambahan, dan aktif mencari informasi lowongan,” kata Farhan melalui sambungan telepon pada 25 September 2025

Pilihan Farhan jatuh pada Politeknik Negeri Lhokseumawe. Alasannya sederhana, politeknik dikenal lebih fokus pada praktik. Menurutnya, itu jalan tercepat untuk mengasah keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan lapangan.

“Selain itu, banyak alumni politeknik yang sudah terbukti berhasil bekerja di sektor energi. Itu jadi motivasi tambahan,” ujarnya.

Mewujudkan mimpi tentu tak semudah membalik telapak tangan. Farhan harus melewati serangkaian proses rekrutmen yang panjang dan menantang. Mulai dari tes administrasi, ujian tertulis, wawancara teknis, psikotes, hingga pemeriksaan kesehatan dengan standar tinggi.

“Yang paling berat itu tes kesehatan, karena di migas standar keselamatan sangat ketat. Setelah itu, saya juga ikut pelatihan keselamatan kerja sebelum bisa benar-benar turun ke lapangan,” kenangnya.

Selain itu, ia harus melengkapi diri dengan berbagai sertifikasi, seperti K3 migas, Basic Safety Training (BST), hingga pelatihan khusus instrumen lapangan. Ia juga mengambil kursus tambahan bahasa Inggris teknis, mengingat sebagian besar manual peralatan dan komunikasi kerja menggunakan bahasa tersebut.

Kini, setelah bekerja, Farhan merasakan perbedaan nyata antara teori di kampus dengan praktik di lapangan. Jika di kelas ia hanya belajar simulasi tekanan gas, di lapangan ia harus menghadapi kebocoran kecil di sumur produksi yang membutuhkan keputusan cepat dan tepat.

“Beda jauh. Kampus memberi dasar, tapi lapangan mengajarkan kita cara berpikir cepat. Banyak skill baru yang saya dapat, mulai dari membaca peta geologi sederhana, mengoperasikan instrumen lapangan, hingga manajemen risiko. Soft skill seperti kerja sama tim dan disiplin waktu juga sangat berkembang,” katanya.

Bekerja di migas membawa perubahan besar dalam hidup Farhan. Dari sisi ekonomi, ia kini mampu membantu orang tuanya, membiayai sekolah adiknya, bahkan memberanikan diri untuk menikah. Namun, pekerjaan ini juga punya tantangan tersendiri, salah satunya sistem kerja roster yang membuatnya harus sering berjauhan dengan keluarga.

“Pekerjaan ini membuat saya lebih mandiri. Memang berat kadang harus lembur sehingga jauh dari keluarga untuk beberapa saat, tapi semua itu terbayar dengan apa yang bisa saya lakukan untuk mereka,” ucapnya lirih.

Kisah Farhan menjadi bukti nyata bahwa kehadiran industri migas di Aceh bukan sekadar soal eksplorasi energi, tetapi juga soal transformasi keterampilan tenaga kerja lokal. Semakin banyak anak muda Aceh yang berani menempuh jalur serupa, semakin besar pula peluang Aceh keluar dari jerat kemiskinan dan bangkit sebagai daerah dengan SDM unggul di sektor energi.

Kehadiran kembali industri minyak dan gas bumi (migas) di Aceh dinilai sebagai momentum penting yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong kemajuan ekonomi daerah. Pandangan itu disampaikan Ekonom Aceh, Rustam Effendi, saat berbincang dengan Nukilan.id, Kamis (25/9/2025).

“Keberadaan industri migas kali ini harus didukung penuh dan dimanfaatkan secara optimal untuk kemajuan ekonomi daerah,” kata Rustam.

Ia menekankan, keterlibatan perusahaan lokal dalam rantai pasok industri migas mutlak diperlukan. Menurutnya, perusahaan lokal bisa dilibatkan sebagai vendor atau pemasok beragam kebutuhan industri, mulai dari logistik, transportasi, hingga jasa pendukung operasional lainnya.

“Dengan cara ini, aktivitas ekonomi di daerah akan bergerak dinamis. Bisa menciptakan peluang kerja baru dan akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Rustam menyebut, manfaat kehadiran industri migas tidak hanya terbatas pada penciptaan lapangan kerja, tetapi juga bisa menumbuhkan kehidupan masyarakat di sekitar wilayah operasi. Hal itu dapat diwujudkan melalui aliran dana sosial yang digulirkan perusahaan, misalnya lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

“Dana CSR sebaiknya diprioritaskan untuk mengembangkan kapasitas komunitas sosial atau lembaga di sekitar perusahaan. Dengan begitu, masyarakat sekitar tidak hanya jadi penonton, tapi ikut tumbuh bersama industri,” katanya.

Pandangan Rustam itu seakan menegaskan bahwa nilai sejati industri migas tidak semata pada besarnya investasi, melainkan bagaimana ia bisa bertransformasi menjadi denyut baru bagi masyarakat, yakni membuka ruang kerja, menghidupkan ekonomi lokal, dan menumbuhkan rasa percaya diri generasi muda Aceh.

Di tengah geliat industri migas yang kembali berdenyut di Aceh, kisah Farhan dan anak-anak muda lain menjadi cermin bahwa masa depan daerah ini tak hanya ditentukan oleh cadangan energi di perut bumi, melainkan juga oleh tekad dan keterampilan manusia yang mengelolanya. Harapan itu kini menyala seperti bara yang menunggu ditiup angin, siap menghangatkan kembali kehidupan ekonomi Aceh. (XRQ)

Penulis: AKIL

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News