Sosiolog Sebut Ruang Demokrasi dan Stabilitas Sosial di Aceh Saling Berkaitan

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Provinsi Aceh kembali menorehkan catatan penting dalam bidang keamanan dan demokrasi. Berdasarkan data Indeks Demokrasi dan Keamanan Sosial (IDSD) 2025 yang dirilis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aceh dinobatkan sebagai provinsi paling aman di Sumatra dengan perolehan skor tertinggi, yakni 4,7.

Dalam keterangannya, BRIN menjelaskan bahwa skor keamanan dalam IDSD tidak hanya mengukur tingkat kriminalitas, melainkan juga mencakup aspek sosial, politik, dan hukum. Sejumlah faktor yang diperhitungkan antara lain penanganan terorisme dan radikalisme di tingkat lokal, kinerja kepolisian dalam menjaga ketertiban masyarakat, hingga jaminan kebebasan pers dan ruang demokrasi di setiap provinsi.

Dengan indikator tersebut, Aceh dinilai mampu menjaga stabilitas sosial-politik di tengah dinamika pembangunan daerah. Prestasi ini sekaligus menjadi sinyal positif bahwa Aceh tidak hanya mampu merawat perdamaian pascakonflik, tetapi juga konsisten memperkuat fondasi demokrasi dan rasa aman warganya.

Menanggapi capaian ini, Nukilan.id menghubungi Sosiolog Aceh, Dr. Masrizal. Ia menegaskan bahwa ruang demokrasi di Aceh menjadi salah satu kunci terciptanya rasa aman di masyarakat.

“Ruang demokrasi di Aceh memiliki hubungan yang sangat erat dengan stabilitas keamanan sosial. Dengan adanya ruang demokrasi yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,” ungkapnya pada Sabtu (6/9/2025).

Masrizal menambahkan, keterbukaan ruang demokrasi memberikan kesempatan bagi warga untuk merasa didengar dan diikutsertakan dalam pembangunan. Dari sinilah muncul keterikatan sosial yang berkontribusi besar pada keamanan.

“Maka keamanan sosial dapat dipertahankan dan diperkuat, hal ini dapat kita lihat mulai dari level Gampong hingga Kabupaten/Kota di Aceh,” tambahnya.

Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa capaian tersebut tidak boleh membuat Aceh lengah. Masih ada sejumlah persoalan fundamental yang bisa menjadi batu sandungan bagi kelanjutan rasa aman dan demokrasi yang sehat.

“Tantangan sosial terbesar yang masih berpotensi mengganggu rasa aman dan demokrasi di Aceh adalah ketidakadilan ekonomi dan sosial, serta kurangnya representasi politik masyarakat Aceh,” jelasnya.

Menurut  Kabid Agama dan Sosial Budaya FKPT Aceh tersebut, ketimpangan sosial dan ekonomi kerap melahirkan rasa frustrasi yang bisa berkembang menjadi konflik terbuka. Begitu pula minimnya representasi politik, yang berpotensi menimbulkan perasaan terpinggirkan di kalangan masyarakat tertentu.

“Selain itu, masih adanya potensi konflik antar-kelompok sosial dan agama juga dapat mengganggu stabilitas keamanan sosial di Aceh,” tuturnya.

Koordinator Prodi MDRK SPS-USK tersebut mencontohkan, konflik yang berakar pada perbedaan identitas sosial maupun keagamaan masih bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menciptakan ketegangan baru di tengah masyarakat.

“Masih kita temukan adanya penolakan disana sini, termasuk pendirian rumah ibadah sesama Islam,” kata Masrizal. (XRQ)

Reporter: AKil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News