NUKILAN.ID | Banda Aceh – Dua puluh tahun setelah perjanjian damai ditandatangani di Helsinki, Finlandia, luka yang ditinggalkan konflik bersenjata di Aceh belum sepenuhnya sembuh. Bagi Guru Besar UIN Ar-Raniry, Prof Yusni Sabi, perdamaian yang sudah terjalin hanya akan bertahan jika rekonsiliasi dilakukan secara menyeluruh dan mencakup semua korban, tanpa terkecuali.
“Korban konflik di Aceh itu lima juta orang. Ada yang kehilangan pendidikan, terpaksa mengungsi, kehilangan nyawa, atau menderita sakit. Tidak ada kita yang tidak jadi korban,” ujarnya kepada Nukilan, Kamis (14/8/2025).
Konflik bersenjata yang berlangsung selama hampir tiga dekade meninggalkan jejak penderitaan di seluruh lapisan masyarakat. Ada anak-anak yang tumbuh tanpa pendidikan karena sekolah rusak atau ditutup, keluarga yang terpisah karena mengungsi, hingga ribuan jiwa yang hilang. Selain korban jiwa, banyak warga yang menderita trauma berkepanjangan dan kehilangan mata pencaharian.
Bagi Yusni, semua orang di Aceh adalah korban, baik mereka yang terlibat langsung di garis depan maupun yang terdampak secara tidak langsung. Karena itu, ia menilai pendekatan yang hanya mengakui korban dari kelompok tertentu adalah keliru.
“Kalau pemerintah masih membagi-bagi korban, hati-hati. Itu tidak adil. Semua kita terdampak konflik, bukan hanya satu pihak,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi dapat menjadi sumber ketegangan baru di masyarakat. Jika tidak diantisipasi, hal itu berpotensi merusak fondasi perdamaian yang sudah dibangun dengan susah payah.
Menurut Yusni, rekonsiliasi yang tuntas adalah kunci menjaga perdamaian jangka panjang. Rekonsiliasi bukan sekadar seremoni atau peringatan tahunan, melainkan proses berkelanjutan untuk memulihkan hubungan antarwarga, memperbaiki layanan publik, dan memastikan hak-hak korban diakui dan dipenuhi. []
Reporter: Sammy