NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Musim kemarau yang telah berlangsung selama dua bulan menyebabkan ribuan hektare lahan sawah musim tanam gadu di sejumlah wilayah di Provinsi Aceh mengalami kekeringan parah. Dalam situasi seperti ini, sistem irigasi yang andal sangat dibutuhkan, mengingat irigasi memegang peranan penting dalam menjaga kelangsungan produksi pertanian selama musim kering.
Irigasi berfungsi sebagai penyedia air alternatif ketika sumber air alami seperti hujan menjadi langka. Dengan sistem irigasi yang memadai, petani tetap dapat mempertahankan produktivitas pertanian, khususnya tanaman padi, sekalipun di tengah cuaca ekstrem seperti kemarau panjang.
Melihat situasi ini, Nukilan.id pada Jumat (5/7/2025) menghubungi Mujiburrahmad, Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), untuk mengetahui sejauh mana kesiapan sistem irigasi Aceh dalam menghadapi kondisi cuaca ekstrem seperti kemarau panjang.
Mujiburrahmad mengungkapkan bahwa kondisi sistem irigasi di Aceh masih menyimpan sejumlah persoalan krusial yang menghambat upaya menjaga stabilitas produksi pangan, terutama padi.
“Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, Bappenas, dan studi terbaru, kondisi sistem irigasi di Aceh menunjukkan keterbatasan yang signifikan dalam menjamin ketahanan produksi pertanian, khususnya padi pada musim kemarau,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, sebagian besar lahan sawah di Aceh masih belum terjangkau irigasi teknis dan hanya mengandalkan curah hujan, yang tentu sangat rentan terhadap cuaca ekstrem.
“Sekitar 65% lahan sawah masih bergantung pada irigasi non-teknis seperti tadah hujan, yang sangat rentan terhadap fluktuasi iklim,” katanya.
Menurutnya, jaringan irigasi teknis yang ada pun belum mampu menjangkau seluruh kawasan sentra pertanian secara merata, terutama wilayah-wilayah yang selama ini menjadi penghasil utama padi gadu.
“Infrastruktur irigasi teknis seperti jaringan Krueng Aceh dan Lhok Guci belum menjangkau sebagian besar sentra padi gadu, terutama di wilayah tengah dan selatan Aceh,” terangnya.
Selain persoalan keterjangkauan, kerusakan pada infrastruktur yang belum diperbaiki sejak bencana masa lalu juga memperburuk distribusi air irigasi. Hal ini berdampak langsung terhadap produktivitas petani di daerah yang terdampak.
“Selain itu, kerusakan dan degradasi infrastruktur di daerah seperti Pidie dan Aceh Selatan, yang belum sepenuhnya direvitalisasi pasca-bencana, memperburuk situasi dan menghambat efisiensi distribusi air,” sambungnya.
Dengan demikian, ia menekankan bahwa ketahanan pertanian Aceh saat ini berada dalam kondisi yang cukup rapuh. Berbagai faktor seperti minimnya jaringan irigasi teknis, ketergantungan terhadap hujan, dan lemahnya rehabilitasi infrastruktur menjadi penyebab utama.
“Kombinasi antara keterbatasan jangkauan irigasi teknis, ketergantungan tinggi pada hujan, serta minimnya rehabilitasi infrastruktur, memperkuat kesimpulan bahwa sistem irigasi di Aceh belum siap menghadapi dampak kemarau panjang secara optimal,” tutupnya.
Situasi ini menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah dan pusat untuk segera mengambil langkah konkret memperkuat sistem irigasi, sebelum kekeringan semakin meluas dan menggerus ketahanan pangan Aceh. (XRQ)
Reporter: Akil