Tanah Blang Padang di Persimpangan Sejarah

Share

Nukilan | Banda Aceh – Di tengah hamparan hijau yang luas di pusat Kota Banda Aceh, Lapangan Blang Padang berdiri sebagai salah satu ruang terbuka paling ikonik di ibu kota provinsi Aceh. Namun, di balik fungsi publik dan seremonialnya, lapangan ini menyimpan persoalan panjang yang belum kunjung usai: konflik status tanah antara Pemerintah Aceh dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).

Di tahun 2025 ini, polemik itu mencuat kembali. Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem, secara resmi menyurati Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, meminta agar tanah Blang Padang dikembalikan sebagai tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman, sesuai dengan sejarah panjang yang tercatat sejak era Kesultanan Aceh.

Surat permohonan resmi itu tertuang dalam dokumen bernomor 400.8/7180, tertanggal 17 Juni 2025. Dalam surat tersebut, Gubernur Mualem secara tegas menyatakan bahwa status tanah Blang Padang semestinya dikembalikan kepada nazir Masjid Raya Baiturrahman, karena tanah tersebut merupakan bagian dari wakaf Sultan Iskandar Muda yang telah ada sejak abad ke-17.

Tanah Wakaf dalam Sejarah Aceh

Polemik tanah Blang Padang tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Kesultanan Aceh. Tanah ini dikenal dalam tradisi lokal dengan sebutan Umong Meusara, yang berarti sawah atau ladang wakaf untuk kepentingan masjid. Dalam sistem pemerintahan Islam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636 M), tanah ini diperuntukkan untuk menopang operasional Masjid Raya Baiturrahman, termasuk gaji bagi imam, khatib, dan muazin.

“Tulisan van Langen dan Snouck Hurgronje menjadi bukti historis yang kuat bagi klaim bahwa Blang Padang (dan Blang Punge) secara historis adalah tanah wakaf Kesultanan Aceh untuk Masjid Raya Baiturrahman,” ujar Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, dosen antropologi dari Universitas Malikussaleh (Unimal), Lhokseumawe, dalam keterangannya kepada Acehlive, Jumat (27/6/2025).

Al Chaidar mengacu pada buku sejarah klasik karya K.F.H. Van Langen (1888) berjudul De Inrichting Van Het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat, yang menyebut bahwa Sultan Iskandar Muda mewakafkan Blang Padang bersama Blang Punge untuk kepentingan Masjid Raya Baiturrahman.

Bukti Peta dan Arsip Kolonial

Sejumlah arsip dan dokumen kuno mendukung klaim Pemerintah Aceh atas status tanah ini. Peta Koetaradja tahun 1915 serta Peta Blad Nomor 310 tahun 1906 menunjukkan bahwa Blang Padang adalah bagian dari aloen-aloen atau alun-alun Kesultanan Aceh, bukan area militer kolonial.

Bahkan dalam peta militer Belanda bertajuk Kaart Van Onze Tegenwoorddige Positie Op Atjeh tahun 1875—yang menggambarkan posisi Belanda di wilayah Aceh—ditunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Banda Aceh kala itu sudah ditandai bendera Belanda, kecuali tiga titik: reruntuhan Masjid Raya Baiturrahman, Blang Padang, dan Blang Punge.

Selain dokumen sejarah, laporan audit resmi dari negara turut memperkuat klaim wakaf tersebut. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh Nomor 22.A/LHP/XVIII.BAC/05/2024 menyatakan bahwa tanah Blang Padang dulunya dibeli oleh Sultan dari rakyat, kemudian diwakafkan kepada Masjid Raya Baiturrahman.

Menariknya, sebagian dari tanah wakaf Sultan Iskandar Muda di lokasi Blang Punge telah memiliki sertifikat tanah wakaf resmi seluas 7.784 meter persegi. Di atasnya kini berdiri rumah imam Masjid Raya, lembaga pendidikan (MAS dan MTsS Darus Syariah), dan fasilitas siaran dakwah Radio Baiturrahman. Sertifikat ini menjadi preseden hukum yang bisa dijadikan rujukan untuk memperjelas status Blang Padang.

Di sisi lain, pihak TNI AD, khususnya Kodam Iskandar Muda, menyatakan bahwa Lapangan Blang Padang adalah area dengan hak pakai TNI berdasarkan Surat Keputusan Presiden dari era 1960-an. Pernyataan ini dikutip dari laporan Acehtrend, dan menjadi dasar legalitas militer atas tanah yang kini digunakan untuk berbagai kegiatan negara, termasuk upacara HUT RI, latihan militer, dan kegiatan lainnya.

Menteri Agama RI, Prof Nazaruddin Umar, memberikan pernyataan yang menjadi angin segar bagi masyarakat Aceh. Dalam pertemuan dengan Pembina Sekber Gabungan Prabowo–Mualem–Dek Fadh, Tgk Zulfikar Syihabuddin, Sabtu (28/6/2025), ia menegaskan bahwa pengelolaan tanah wakaf hanya sah jika dilakukan oleh nazir yang sah menurut hukum Islam dan negara.

Ketua DPR Aceh, Zulfadhli, menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Gubernur Aceh. Ia mengatakan DPR Aceh siap mengambil langkah-langkah lanjutan jika pemerintah pusat tidak merespons secara cepat.

“Sudah pasti langkah itu kita dukung. Bisa jadi, nantinya ada opsi dan respon politik dari DPR Aceh untuk memperkuat rencana Mualem,” ujar Zulfadhli, dikutip Anterokini, Jumat, (27/6/2025).

Senada dengan itu, mantan anggota DPRA Fraksi Partai Aceh, Tgk Muhammad Yunus pada 2022 lalu mengatakan bahwa pengabaian terhadap status tanah ini dapat memicu keresahan sosial.

“Dalam sejarah, Blang Padang itu disebut dengan Umong Meusara. Umong Meusara dalam bahasa Aceh itu tanah wakaf yang dikhususkan untuk Masjid Raya Baiturrahman, untuk kepentingan khatib masjid, imam masjid, dan muazin,” ungkap Tgk Muhammad Yunus dalam sidang paripurna beragendakan pendapat akhir Gubernur Aceh, dikutip dari Acehinfo, Jumat (23/9/2022).

Dalam surat resminya, Gubernur Aceh menyampaikan empat permintaan kepada Presiden Prabowo untuk mengembalikan status Blang Padang sebagai tanah wakaf Masjid Raya, menyerahkan pengelolaannya kepada nazir yang sah, memfasilitasi proses sertifikasi wakaf, dan mendorong koordinasi antar instansi secara bermartabat dan transparan. Mualem juga menekankan bahwa permintaan ini tidak semata-mata untuk kepentingan birokratis, melainkan demi menjaga keutuhan sejarah dan marwah umat Islam di Aceh.

Dosen Antropologi Unimal, Lhokseumawe, Al Chaidar Abdurrahman Puteh optimis tanah wakaf Blang Padang akan Kembali kepada nazir Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Hal tersebut berdasarkan lampu hijau yang diberikan oleh Menteri Agama sendiri, Prof Nazaruddin Umar.

“Ini ada proses berikutnya yang harus dilakukan oleh gubernur, yaitu bagaimana keputusan dari Presiden Prabowo Subianto nantinya. Jika presiden sudah memutuskan misalnya tanah tersebut kembali kepada Masjid Raya atau tidak. Kalau presiden yang mengeluarkan titah (dikembalikan), itu sudah pasti akan diikuti oleh TNI,” ujar Al Chaidar saat dihubungi Nukilan, Minggu (29/6/2025).

Dia menambahkan, tanah tersebut bagaimana pun merupakan tanah wakaf, sehingga memiliki dasar hukum yang kuat untuk dikembalikan kepada Masjid Raya Baiturrahman, sehingga masyarakat Aceh tak menggugat lagi perihal kepemilikan tanah tersebut dan status tanah tersebut menjadi jelas.

Polemik Blang Padang mencerminkan betapa kompleksnya benturan antara narasi sejarah, legitimasi hukum, dan kepentingan kekuasaan negara—sebuah konflik yang berpotensi berlangsung lama jika tak diselesaikan dengan pendekatan yang adil dan berpijak pada nilai-nilai historis.

Bagi masyarakat Aceh, Blang Padang bukan sekadar hamparan rumput di tengah kota. Ia adalah simbol kejayaan peradaban Islam, warisan agung Sultan Iskandar Muda, serta bagian dari identitas kolektif atas otonomi dan kehormatan Aceh. Mengabaikan nilai sejarah dan makna spiritual yang melekat padanya sama artinya dengan mengingkari warisan leluhur yang telah bertahan selama lebih dari empat abad. []

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News