NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Inggris atau United Kingdom (UK) terus memperkuat posisinya sebagai destinasi utama bagi mahasiswa Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri. Berdasarkan data Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun 2023, Inggris menempati peringkat ketiga negara tujuan favorit penerima beasiswa, bersaing ketat dengan Amerika Serikat, Australia, Belanda, dan Jepang.
Fenomena ini bukan semata-mata soal tren atau popularitas. Di balik angka statistik itu, terdapat sejumlah alasan mendasar yang membuat negeri Ratu Elizabeth ini begitu menarik di mata para pencari ilmu dari Indonesia.
Untuk memahami lebih dalam daya tarik tersebut, Nukilan.id mewawancarai Saddam Rassanjani, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala, yang kini sedang menempuh pendidikan doktoral di salah satu universitas terkemuka di Inggris.
Menurut Saddam, reputasi akademik yang telah lama mengakar kuat di negara-negara Barat, termasuk Inggris, menjadi salah satu faktor kunci yang tak bisa diabaikan ketika membahas kualitas pendidikan tinggi global.
“Kalau bicara soal pendidikan, kita nggak bisa menafikan bahwa kiblat akademik dunia saat ini memang masih dipegang oleh negara-negara barat, termasuk UK,” katanya pada Minggu (25/5/2025).
Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Inggris dikenal sebagai rumah bagi sejumlah universitas papan atas dunia, yang kerap menjadi rujukan utama dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk kebijakan sosial, tata kelola pemerintahan, dan pembangunan berkelanjutan—bidang yang saat ini ia tekuni.
“Banyak kampus di sini yang masuk jajaran top dunia versi QS World University Rankings atau Times Higher Education. Kampus tempat saya studi sekarang, juga punya reputasi bagus di bidang social policy, governance, dan pembangunan berkelanjutan,” jelas Saddam.
Namun demikian, orientasi akademik bukan satu-satunya pertimbangan dalam memilih tempat studi. Bagi Saddam, pengalaman studi di luar negeri juga erat kaitannya dengan aspek personal dan kebudayaan yang memperkaya kehidupan sebagai individu.
“Selain pertimbangan akademik, saya juga punya alasan personal. Salah satunya karena sepakbola. Inggris ini surganya para pecinta bola. Saya bisa tur ke sejumlah lapangan sepakbola Premier League,” katanya.
Sepak bola, yang telah menjadi bagian dari identitas budaya Inggris, ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa internasional, terutama mereka yang memang menggemari olahraga ini. Saddam menilai, elemen ini memberi warna tersendiri dalam pengalaman tinggal di Inggris.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan kenyamanan hidup sebagai seorang muslim di Inggris sebagai faktor lain yang membuat proses adaptasi menjadi lebih mudah. Meski tinggal di negara non-muslim, Saddam merasa tetap bisa menjalankan ajaran agamanya dengan leluasa.
“Hal lain yang bikin nyaman adalah kemudahan menjalani hidup sebagai muslim. Di kota tempat saya tinggal, masjid lumayan banyak, toko halal gampang ditemukan, dan ada komunitas muslim yang aktif. Ini semua sangat membantu untuk tetap bisa menjalankan ibadah dengan tenang sambil kuliah,” tuturnya.
Dari sisi akademik, pengalaman belajar di Inggris memberikan nuansa yang sangat berbeda dibandingkan dengan atmosfer kampus di Indonesia. Saddam menekankan bahwa salah satu kekuatan pendidikan tinggi di Inggris terletak pada iklim akademik yang inklusif dan mendorong keterbukaan berpikir.
“Belajar di UK itu terasa banget bedanya. Suasana akademiknya lebih terbuka dan kritis,” katanya.
Menurutnya, mahasiswa tidak hanya didorong untuk menghafal teori, tetapi juga untuk aktif berdialektika, menguji argumen, dan membangun kerangka berpikir yang mandiri. Di ruang-ruang diskusi, kesalahan bukanlah aib, melainkan bagian dari proses intelektual.
“Di kelas atau seminar, kita didorong untuk berani mengemukakan pendapat. Nggak ada istilah takut salah, yang penting argumen kita logis dan punya dasar. Salah saja tetap dapat pujian apalagi betul,” imbuhnya.
Saddam juga menyoroti pendekatan interdisipliner sebagai ciri khas lain dalam sistem pendidikan tinggi Inggris. Isu-isu kompleks seperti kemiskinan, katanya, tidak cukup dibedah hanya dari satu sudut pandang, melainkan perlu dianalisis dari berbagai perspektif agar lebih komprehensif.
“Pendekatannya juga lebih interdisipliner. Misalnya, ketika membahas isu kemiskinan, kita nggak cuma pakai pendekatan ekonomi, tapi juga sosial, politik, bahkan etika. Akses ke jurnal internasional sangat luas, dan banyak seminar atau konferensi yang bisa diikuti untuk memperluas wawasan,” paparnya.
Melalui pengalamannya, Saddam Rassanjani menjadi salah satu representasi dari generasi muda Indonesia yang tidak hanya mengejar gelar akademik, tetapi juga menjelajahi cakrawala baru dalam berpikir, berinteraksi, dan membentuk pemahaman lintas budaya. (XRQ)
Reporter: Akil