Nukilan.id – Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei Persepsi Korupsi dan Evaluasi Pemberantasan Korupsi Menurut Kalangan Pelaku Usaha dan Pemuka Opini pada Ahad (7/2). Sebanyak 23,4 persen responden pelaku usaha menganggap bahwa wajar memberikan sesuatu kepada pejabat pemerintah.
“Persepsi ini seiring dengan toleransi terhadap suap/gratifikasi yang cukup tinggi. Sekitar 23,4 persen menganggap wajar bahwa memberikan sesuatu seperti: uang, barang, hiburan, hadiah di luar persyaratan/ketentuan untuk memperlancar suatu proses atau sebagai bentuk terima kasih ketika berhubungan dengan instansi pemerintah,” kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam konferensi pers daring, Ahad (7/2).
Dalam hasil survei tersebut, cukup banyak para pelaku usaha yang menilai positif praktik nepotisme. Ada sekitar 21 persen pelaku usaha menganggap, nepotisme adalah tindakan normal dan 14 persen menilainya sebagai tindakan yang perlu untuk memperlancar urusan.
“Meskipun lebih banyak yang menilainya negatif (51 persen menganggap tidak etis, 10 persen menilai sebagai kejahatan), namun penilaian positif terhadap nepotisme cukup tinggi mengingat praktik tersebut merupakan praktik yang tergolong negatif,” ungkapnya.
LSI juga mendapatkan, sebanyak 58 persen pengusaha menilai praktik korupsi di Indonesia mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. “Temuan menilai lebih banyak meningkat, dibanding yang menilai menurun, ini memiliki kesamaan dengan penilaian yang diberikan oleh masyarakat umum dalam survei LSI pada November – awal Desember 2020 (46 persen) dan Desember 2020 (56 persen),” terang Djayadi.
Dari hasil survei, juga ditemukan bahwa fenomena korupsi masih dinilai sebagai hal yang terus mewarnai semua kalangan masyarakat. Karena masyarakat umum juga sebelumnya menilai, 56 persen praktik korupsi di Indonesia meningkat dalam survei yang dilakukan pada Desember 2020.
Djayadi menuturkan, dalam survei ini juga menyebut sekitar 25,2 persen menilai tidak mengalami perubahan. Sementara itu, hanya 8,5 persen menilai praktik korupsi mengalami penurunan.
Adapun dalam menghimpun data, pemuka opini yang menjadi responden survei ini sebanyak 1.008 orang dari 36 kota di Indonesia. Responden dipilih karena dikenal sebagai intelektual, tokoh yang memiliki wawasan politik, hukum, atau ekonomi luas, mengikuti perkembangan politik nasional secara intensif, menjadi narasumber media massa, atau aktif terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan, atau organisasi.
Responden datang dari tiga latar belakang, yakni akademisi, LSM/Ormas, dan media massa. Karena tidak tersedianya data populasi Pemuka Opini, maka pemilihan responden tidak dilakukan secara random.
“Pemilihan responden dilakukan secara purposif, terutama dicari dari media massa nasional atau daerah,” terang Djayadi.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan.
Sumber: Republika