NUKILAN.id | Jakarta — Memasuki 200 hari pertama masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, The Indonesian Institute (TII) merilis sebuah studi evaluatif bertajuk Evaluasi 200 Hari Menteri Kabinet Merah Putih. Studi ini menilai kinerja para menteri dengan menyoroti aspek politik, kebijakan publik, dan birokrasi.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan yang ketat dan berbasis teori jaringan kebijakan publik, untuk memberikan gambaran objektif mengenai sejauh mana para menteri menjalankan tugasnya dalam mendukung visi dan misi pemerintahan.
Media Nukilan.id turut hadir secara daring dalam kegiatan ini dan mencatat bahwa hasil evaluasi TII memberikan catatan penting terkait efektivitas koordinasi antarmenteri, kualitas pengambilan kebijakan, serta tantangan birokrasi yang masih membayangi jalannya pemerintahan.
Felia Primaresti, Manajer Riset dan Program TII, menjelaskan bahwa evaluasi dilakukan menggunakan lima indikator utama: komunikasi publik, partisipasi publik, kolaborasi lintas sektor, konsistensi kebijakan, dan key performance indicator. Masing-masing indikator terdiri dari empat sub-indikator, sehingga total nilai maksimal adalah 20. Penilaian ini disusun secara bertahap dengan metode mixed method, pembobotan, serta analisis kontekstual sesuai konten kebijakan.
Menko Polhukam Skor Terendah: Dinilai Tidak Kolaboratif
Budi Gunawan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), mencatatkan skor terendah yaitu 7. Menurut Felia, pendekatan Budi yang lebih mengedepankan stabilitas dan komando dianggap tidak mencerminkan peran strategis Menko yang seharusnya lintas sektor.
“Akibatnya, peran Menko Polhukam yang seharusnya lebih kolaboratif dan integratif, justru tereduksi menjadi ‘penunggu arahan’,” jelas Felia.
Tito Karnavian: Akademis Tapi Negara-Sentris
Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian meraih skor 8. Felia mengakui bahwa Tito memiliki latar belakang akademik yang kuat. Namun, ia menilai pendekatan kebijakan yang digunakan masih sangat top-down dan terfokus pada aspek keamanan serta kontrol birokratis.
“Pendekatan kebijakan Tito tetap mengedepankan aspek keamanan dan kontrol birokratis, bukannya kolaborasi deliberatif atau keterlibatan masyarakat sipil yang lebih luas,” tambahnya.
Lebih lanjut, kebijakan yang terlalu mengedepankan kontrol dinilai dapat menghambat pembangunan politik yang lebih inklusif.
Rachmat Pambudy Dikritik karena Minim Strategi Pembangunan
Di bidang perencanaan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, memperoleh skor 9. Menurut Felia, hingga saat ini belum ada komunikasi terbuka kepada publik mengenai arah strategis pembangunan dalam jangka pendek maupun menengah.
“Hingga kini, belum ada komunikasi terbuka dengan publik terkait rencana jangka pendek maupun menengah pemerintah untuk mengatasi tantangan krisis dan kebutuhan riil masyarakat,” katanya.
Tak hanya itu, Rachmat juga sempat membuat blunder lewat pernyataan kontroversialnya soal MBG (Makan Bergizi Gratis).
“Blunder pernyataan Rachmat yang menganggap MBG lebih penting daripada lapangan kerja, mencerminkan rendahnya sensitivitas terhadap kondisi sosial-ekonomi rakyat,” tegas Felia.
Birokrasi: Ada Harapan dari Rini dan Prasetyo
Sementara itu, dalam ranah birokrasi dan reformasi administrasi, dua menteri mencatat skor tertinggi yakni 13. Mereka adalah Rini Widyantini, Menteri PAN-RB, dan Prasetyo Hadi, Menteri Sekretaris Negara.
Felia mencatat bahwa Rini cukup responsif terhadap isu-isu strategis seperti pengangkatan ASN. Namun, ia juga menilai terdapat inkonsistensi kebijakan yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tekanan politik.
Di sisi lain, Prasetyo justru mendapat apresiasi karena dinilai tanggap terhadap dinamika publik.
“Ini menunjukkan sensitivitas terhadap dinamika publik, meskipun ini bukan bagian dari tugas formalnya sebagai Mensesneg,” ujar Felia.
Latar Belakang Aparat Pengaruhi Gaya Kepemimpinan
Secara umum, Felia menyimpulkan bahwa menteri dengan latar belakang aparat keamanan, seperti Polri dan TNI, cenderung menggunakan pendekatan top-down serta kurang memiliki inisiatif dalam membangun komunikasi dan kolaborasi kebijakan.
“Politik dan kebijakan publik itu soal persepsi, dan persepsi yang baik bisa dibangun jika masyarakat percaya kepada pemerintah,” kata Felia.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya keterampilan komunikasi para menteri untuk membangun relasi positif dengan masyarakat.
Sebagai penutup, Felia mengingatkan bahwa kolaborasi antar sektor serta transparansi kepada publik adalah kunci utama dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif.
“Dalam menjalankan pemerintahan yang efektif, kolaborasi antar sektor dan transparansi terhadap publik merupakan kunci utama untuk mempercepat pemulihan dan pembangunan nasional,” pungkasnya.
Reporter: Akil