Kursi Kosong Sekda Aceh dan Bahaya Administrasi yang Tak Bertuan

Share

NUKILAN.id | Opini – Di ruang megah Anjong Mon Mata, tempat sakral di mana para pejabat Aceh diambil sumpahnya, tangan-tangan baru sudah berkali-kali menerima surat keputusan. Namun, di tengah semua upacara dan pelantikan itu, satu kursi penting dibiarkan kosong terlalu lama: Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh.

Lebih dari setahun telah berlalu sejak Bustami Hamzah, Sekda definitif terakhir, dilantik menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Aceh pada Maret 2024. Sejak itu, jabatan Sekda bergerak tak menentu—berganti dari Pelaksana Harian (Plh), Penjabat (Pj), hingga Pelaksana Tugas (Plt)—tanpa ada kejelasan arah. Sebuah situasi yang seharusnya memantik keprihatinan serius, bukan sekadar menjadi konsumsi rumor birokrasi.

Kisah kosongnya kursi Sekda Aceh mencerminkan lebih dari sekadar kelalaian administratif. Ia adalah potret absennya ketegasan dalam mengelola pemerintahan daerah.

Bustami Hamzah, yang menggantikan Taqwallah pada 2022, hanya sempat mengisi jabatan Sekda selama enam bulan sebelum diangkat menjadi Pj Gubernur. Setelah itu, estafet jabatan Sekda berjalan di tempat. Dari Azwardi, Muhammad Diwarsyah, Alhudri, hingga kini M Nasir Syamaun, kursi itu hanya diisi pejabat sementara, sebagian bahkan merangkap jabatan lain.

Secara hukum, memang ada celah yang memperbolehkan pengangkatan Plt Sekda dari kalangan kepala SKPA dalam kondisi darurat. Namun, yang darurat bukan berarti harus berlarut-larut menjadi normal baru. Justru keadaan itu harusnya memantik percepatan seleksi Sekda definitif agar sistem administrasi tetap terjaga dalam koridor stabilitas pemerintahan.

Yang terjadi di Aceh justru sebaliknya. Kekosongan ini seperti sengaja dipelihara, seolah jabatan Sekda hanya soal teknis administratif belaka, padahal realitasnya jauh lebih strategis. Sekda bukan sekadar penyambung surat dan nota dinas. Ia adalah motor penggerak pembangunan, pemimpin koordinasi lintas dinas, dan benteng pertama reformasi birokrasi.

Rangkap jabatan, pelantikan kilat, hingga pergantian mendadak membuat tugas-tugas strategis itu tidak berjalan maksimal. Lebih berbahaya lagi, membuka ruang konflik kepentingan dan memperlemah akuntabilitas pemerintahan.

Tarik-menarik politik menjadi bayang-bayang tak kasatmata dalam drama ini. Sumber internal pemerintahan menyebutkan bahwa pasca Pilkada 2024, posisi Sekda menjadi barang rebutan: menjadi alat tawar, bahkan “hadiah politik” untuk mengamankan jalannya kekuasaan baru.

Jika politik jangka pendek menjadi dasar penentuan siapa yang layak duduk di kursi Sekda, maka yang dikorbankan adalah kesinambungan pelayanan publik dan efektivitas birokrasi.

Padahal regulasinya jelas. Proses seleksi Sekda definitif harus melalui panitia seleksi independen, uji kompetensi yang ketat, dan persetujuan Menteri Dalam Negeri. Semua ini dirancang untuk menghindari intervensi politik sempit. Tapi sejauh ini, tahapan seleksi itu hanya menjadi wacana tanpa tindak lanjut.

Aceh kini menghadapi risiko serius: stagnasi administrasi di saat daerah ini butuh lompatan pembangunan pasca-pemilu. Di tengah gelombang perubahan politik, Aceh butuh lebih dari sekadar roda birokrasi yang berputar. Aceh butuh pemimpin administratif yang mampu menjaga marwah pemerintahan, bukan sekadar pengisi kekosongan.

Ketiadaan Sekda definitif bukan hanya soal kekosongan kursi. Ini soal kosongnya kepastian arah. Ini soal lemahnya fondasi di saat Aceh butuh kepemimpinan yang berani mengambil keputusan strategis untuk rakyat.

Publik Aceh berhak mendapatkan lebih. Mereka berhak atas birokrasi yang profesional, bersih dari tarik-menarik politik, dan mampu berlari cepat melayani kebutuhan masyarakat. Mereka berhak atas Sekda yang definitif, bukan sekadar Plh, Pj, atau Plt yang berganti-ganti.

Sampai kapan rakyat harus menunggu? Pertanyaan ini mestinya tidak ditanggapi dengan janji-janji basa-basi. Ia butuh jawaban nyata: seleksi terbuka, proses yang transparan, dan keberanian politik untuk memilih yang terbaik—bukan yang paling dekat dengan kekuasaan.

Karena tanpa itu, kekosongan ini akan menjadi simbol kegagalan kita menjaga marwah pemerintahan sendiri. (XRQ)

Penulis: AKil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News