NUKILAN.id | Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengimbau perusahaan layanan berbasis aplikasi untuk memberikan bonus tunjangan hari raya (BHR) Lebaran 2025 kepada pengemudi ojek online dan kurir online dalam bentuk uang tunai. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (10/3/2025).
Dalam kesempatan itu, Prabowo didampingi sejumlah pejabat tinggi, di antaranya Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri PAN-RB Rini Widyantini, serta Menteri Perhubungan Dudy Purwaghandi.
“Pemerintah mengimbau kepada seluruh perusahaan layanan berbasis aplikasi untuk memberi bonus hari raya kepada pengemudi dan kurir online dalam bentuk uang tunai dengan mempertimbangkan keaktifan kerja,” ujar Prabowo.
Namun, sejumlah pengamat menilai imbauan ini masih bersifat moral dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Untuk itu, Nukilan.id menghubungi Syamsul Arif, aktivis buruh Indonesia, untuk membahas alternatif lain yang dapat memastikan kesejahteraan para pengemudi ojek online, terutama jika pemberian THR belum bisa diwajibkan secara hukum.
Syamsul menilai ada berbagai cara yang dapat dilakukan agar kesejahteraan mereka tetap terjaga.
“Ini dapat dilakukan melalui insentif dari penyedia aplikasi, program tabungan atau dana kesejahteraan, bantuan sosial, aturan dari pemerintah, serta penguatan dukungan dalam komunitas pengemudi,” jelasnya.
Menurutnya, aspek terpenting adalah memastikan bahwa para pekerja di sektor ini tetap mendapatkan perlindungan dan keamanan finansial yang layak, terutama dalam momen-momen penting seperti hari raya.
Sejumlah usulan juga mengarah pada penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri guna memperkuat regulasi terkait pemberian THR bagi pengemudi ojek online. Syamsul menilai langkah ini bisa menjadi awal yang baik, meskipun efektivitasnya masih terbatas.
“Apakah ini efektif? Tentu belum mencukupi, sebab SKB tidak memiliki kekuatan hukum yang signifikan tanpa adanya aturan pendukung seperti Peraturan Pemerintah atau revisi Undang-Undang,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar jika SKB tetap diterbitkan, sebaiknya dilengkapi dengan mekanisme insentif maupun sanksi bagi perusahaan aplikator yang tidak mematuhi imbauan tersebut.
“Diperlukan langkah-langkah lebih lanjut untuk merumuskan regulasi yang lebih mengikat, contohnya Peraturan Pemerintah atau perubahan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga pekerja di sektor ekonomi gig memperoleh perlindungan yang lebih jelas,” ujarnya.
Ia juga menilai bahwa aplikator seharusnya didorong untuk menerapkan sistem THR dalam bentuk insentif atau bonus musiman, tanpa perlu mengubah sepenuhnya status hukum pengemudi.
“Aplikator dapat didorong untuk menerapkan sistem THR dalam bentuk insentif atau bonus musiman, tanpa perlu mengubah sepenuhnya status hukum mereka,” tambahnya.
Dengan demikian, meskipun SKB bisa menjadi langkah awal dalam meningkatkan tekanan sosial dan moral kepada aplikator, hal itu tidak boleh menjadi satu-satunya solusi. Ia menegaskan bahwa regulasi yang lebih kuat serta pendekatan yang lebih komprehensif tetap diperlukan agar kesejahteraan pengemudi ojek online benar-benar terjamin.
“Regulasi yang lebih ketat dan pendekatan yang lebih menyeluruh dibutuhkan agar kesejahteraan pengemudi ojek online benar-benar terjamin,” pungkasnya. (XRQ)
Reporter: Akil