Politikus Klaim IUP untuk Kemandirian Kampus, Pakar: Persoalan Ada di Tata Kelola Anggaran

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Wacana perguruan tinggi mengelola izin usaha pertambangan (IUP) kembali mencuat setelah revisi ketiga Undang-Undang Mineral dan Batubara mengizinkan kampus terlibat dalam sektor pertambangan. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga Anggota Komisi X DPR, Muhammad Haris, menilai kebijakan ini dapat menjadi peluang bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan pendapatan.

Menurut Haris, pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi berpotensi meningkatkan kemandirian finansial kampus dan membantu mengatasi kendala biaya pendidikan tinggi. Ia berpendapat bahwa pendapatan dari sektor pertambangan bisa memperluas akses masyarakat terhadap pendidikan.

“Ada kesempatan bagi masyarakat karena kampus memiliki dana yang besar. Kalau sumber-sumber pendanaan ini diperbanyak, akan semakin banyak pula mobilitas vertikal yang terjadi pada anak bangsa,” ujar Haris seperti dikutip dari Tempo. Ia juga mengingatkan agar ekspektasi positif ini tidak berbalik menjadi bumerang.

Namun, gagasan ini mendapat tanggapan kritis dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Nicholas Siagian, menilai bahwa kemandirian finansial perguruan tinggi seharusnya tidak bergantung pada sektor pertambangan, melainkan pada tata kelola anggaran pendidikan yang lebih baik.

“Jika persoalannya sekadar anggaran demi kemandirian finansial perguruan tinggi, seharusnya bisa dilakukan pembenahan terhadap tata kelola anggaran pendidikan,” kata Nicholas saat dihubungi oleh Nukilan.id pada Kamis (6/2/2025).

Ia juga menyoroti amanat konstitusi yang mengatur alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Menurutnya, jika anggaran tersebut dikelola dengan benar, maka pendanaan pendidikan seharusnya tidak menjadi persoalan.

“Kurang baik apalagi Konstitusi yang dibuat pendahulu negara ini memberikan prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional?” ujarnya.

Nicholas juga mempertanyakan apakah para pemangku kebijakan telah menjalankan kewenangannya dengan sepenuh hati dalam mengelola pendidikan nasional. Ia mempertanyakan apakah para pelaksana kebijakan di Indonesia sudah sepenuh hati memikirkan kepentingan rakyat.

“Artinya, persoalannya ada pada mereka yang menjalankan kewenangan dalam mengelola pendidikan, mereka yang mengelola anggaran pendidikan, mereka yang mengurusi teknis pendidikan, hingga mereka yang terlibat secara teknis mempengaruhi perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan di negeri ini. Sudahkah benar-benar sepenuh hati memikirkan kepentingan rakyat?” kata Nicholas.

Wacana ini memicu perdebatan luas di kalangan akademisi, pemerhati kebijakan publik, dan aktivis pendidikan. Di satu sisi, pendukung revisi UU Minerba melihatnya sebagai peluang bagi kampus untuk mandiri secara finansial. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi bisa menimbulkan dampak lingkungan dan benturan kepentingan akademik dengan industri ekstraktif. (XRQ)

Reporter: AKil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News