Sederet Masalah 100 Hari Kabinet Prabowo-Gibran

Share

NUKILAN.id | IndepthPemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka baru memasuki 100 hari pertama, tetapi dinamika politik sudah dipenuhi kegaduhan. Dari aksi demonstrasi aparatur sipil negara (ASN) hingga kontroversi pernyataan para menteri, berbagai peristiwa ini memicu pertanyaan serius mengenai arah kebijakan pemerintahan baru.


Ratusan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengenakan pakaian serba hitam menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Demonstrasi ini dipicu oleh dugaan arogansi Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro yang dianggap semena-mena dalam kebijakan mutasi pegawai. Dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Kami ASN, dibayar negara, bekerja untuk negara, bukan babu keluarga”, massa menyuarakan kekecewaan mereka.

Aksi ini menambah catatan kelam dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kritik terhadap kepemimpinan Menteri Satryo semakin tajam, terlebih muncul desas-desus bahwa kebijakan mutasi ASN dipengaruhi oleh faktor non-administratif, termasuk kepentingan keluarga. Jika benar demikian, maka wajar jika publik bertanya: bagaimana kebijakan pendidikan tinggi ke depan akan dijalankan?

Sejak diumumkan pada 20 Oktober 2024, susunan Kabinet Merah Putih memang memunculkan banyak perdebatan. Kekhawatiran muncul bahwa kabinet ini lebih banyak diisi oleh loyalis dan pendukung politik daripada individu dengan rekam jejak profesional yang kuat.

Selain Satryo, sejumlah menteri lain juga menjadi sorotan. Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra, misalnya, menuai kontroversi setelah menyatakan bahwa tragedi 1998 tidak termasuk pelanggaran HAM berat karena tidak melibatkan genosida atau pembersihan etnis. Pernyataan ini langsung mendapat kritik dari berbagai kalangan, terutama aktivis HAM dan korban tragedi 1998.

Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mendapat sorotan terkait gelar doktor yang diperolehnya dalam waktu singkat. Publik mempertanyakan standar akademik yang diterapkan dalam pendidikan doktoral di Indonesia, terutama bagi pejabat negara.

Namun, yang paling menonjol adalah persoalan anggaran kementerian. Dengan bertambahnya jumlah kementerian, beban fiskal negara pun ikut meningkat. Ini terlihat dari fenomena para menteri yang berlomba-lomba meminta tambahan anggaran dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI.

Kementerian HAM, misalnya, mengalami lonjakan permintaan anggaran yang signifikan. Natalius Pigai, sebagai Menteri HAM, mengajukan kenaikan anggaran dari Rp64 miliar menjadi Rp20 triliun. Kenaikan yang sangat besar ini menimbulkan pertanyaan, apakah perencanaan anggaran kementerian telah melalui proses yang matang dengan melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)? Apakah anggaran ini benar-benar untuk kepentingan rakyat atau sekadar memenuhi kebutuhan operasional kementerian yang semakin membengkak?

Tak hanya di level kementerian, polemik juga muncul dari jajaran pejabat khusus presiden. Miftah Maulana Habiburrohman, yang ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama, menuai kecaman setelah dalam sebuah pernyataan di depan publik ia mengolok-olok seorang penjual es teh dengan kata-kata “goblok”. Insiden ini memicu gelombang kritik yang akhirnya memaksa Miftah untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Beberapa anggota kabinet pemerintahan Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan. Mulai dari Wakil Kepala Staf Kepresidenan, M. Qodari, yang terlambat mengunjungi sekolah hingga menyebabkan siswa harus menahan lapar dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga sejumlah menteri yang dinilai bertindak di luar batas. Fenomena ini memunculkan pertanyaan publik tentang arah kepemimpinan Prabowo dan bagaimana ia mengelola timnya.

Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza, menilai situasi ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam menerjemahkan visi dan misi Prabowo. “Kalau melihat apa yang telah dilakukan oleh mereka (para menteri bermasalah) dengan citra dari Prabowo ya sangat anomali,” ujarnya dikutip dari Inilah.com.

Sejumlah pejabat disebut seakan terjebak dalam euforia jabatan, bertindak semaunya sendiri hingga berujung pada kesan arogansi. Sebagai contoh, Menteri Satryo yang menjadi kontroversi akibat kebijakan reposisi di Kemendikti Saintek, serta Menteri HAM Natalius Pigai yang meminta tambahan anggaran dengan alasan yang dinilai kurang relevan. Tak hanya itu, tindakan Gus Miftah yang dinilai tidak sejalan dengan upaya Prabowo untuk menghapus stigma arogansi yang melekat sejak Pilpres lalu juga menuai kritik.

Sikap Menteri Satryo yang mengaitkan kebijakan Prabowo dalam memecah kementerian dengan alasan reposisi di Kemendikti Saintek dianggap sebagai bentuk ketidaksepahaman terhadap tujuan awal restrukturisasi kabinet. Menurut Efriza, langkah Prabowo dalam menyederhanakan beban kerja kementerian bertujuan untuk mencegah tumpang tindih kebijakan. Namun, respons Satryo justru memperlihatkan kelemahan dalam memahami peran yang dipercayakan kepadanya.

“Yang jadi pertanyaan publik ini adalah wajah kabinet mau ditaruh di mana dulu oleh Pak Prabowo, kalau wajahnya adalah citra sesuai keinginan publik artinya menteri yang arogan, menteri yang menempatkan sentimen negatif saat ini ya harus digeser ataupun direshuffle,” lanjut Efriza.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah berjalan lebih dari tiga bulan, namun sejumlah program unggulan yang dijanjikan masih menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaannya. Mulai dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan tiga juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), hingga kebijakan ekonomi yang belum sepenuhnya matang, menjadi sorotan publik dan pakar ekonomi.

Pada pekan perdana pelaksanaan MBG, misalnya, banyak persoalan yang muncul di lapangan. Sejumlah sekolah yang menjadi sasaran program mengeluhkan distribusi makanan yang tidak merata dan kesiapan penyelenggara yang belum optimal. Karut-marut ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana kesiapan pemerintah dalam mengeksekusi program tersebut setelah anggaran disiapkan?

Lebih lanjut, janji membangun tiga juta rumah gratis untuk MBR juga memunculkan skeptisisme. Program ini menargetkan masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp8 juta per bulan, namun melihat rekam jejak pemerintahan sebelumnya yang gagal mencapai target satu juta rumah, muncul pertanyaan apakah Menteri yang bertanggung jawab atas proyek ini benar-benar mampu memenuhi target tersebut.

Ekspektasi tinggi dari masyarakat juga berisiko menimbulkan kekecewaan. Istilah ‘gratis’ dalam berbagai program pemerintah sering kali menanamkan harapan besar di benak publik, terutama di wilayah perkotaan seperti Jakarta, yang pernah mengalami euforia serupa dengan janji rumah DP 0 persen. Jika implementasi tidak berjalan sesuai harapan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa terkikis.

Dari sisi ekonomi, kebijakan berbasis subsidi semacam ini merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, dapat meningkatkan daya beli dan menekan angka kemiskinan dalam jangka pendek. Namun, tanpa manajemen fiskal yang baik, program ini berpotensi menambah beban utang negara dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen juga memicu perdebatan di tingkat pemerintahan. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan bahkan terlibat perbedaan pandangan terkait kebijakan ini.

Kondisi ekonomi yang kurang stabil semakin memperkuat kekhawatiran ini. Menurut Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda, dalam tiga bulan pertama pemerintahan Prabowo, terlihat ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi gejolak ekonomi, salah satunya terkait nilai tukar rupiah yang terus melemah.

“Jika kita lihat nilai tukar USD terhadap rupiah di 20 Oktober 2024, berada di angka Rp15.465 per 1 USD. Pada 23 Januari 2025, nilai tukar USD terhadap rupiah adalah Rp16.326 per 1 USD. Ada kenaikan yang cukup tajam dari pelantikan hingga saat ini,” ujarnya.

Ketidakpastian juga melingkupi janji pembentukan Danantara, lembaga investasi yang dijanjikan Prabowo sebagai salah satu pilar ekonomi. Hingga kini, realisasinya belum terlihat jelas. Jika terlalu lama tertunda, kepercayaan investor terhadap lembaga baru ini bisa melemah, yang pada akhirnya berdampak pada iklim investasi nasional.

Tak hanya itu, tarik ulur kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga menjadi salah satu sorotan dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Polemik ini memunculkan perdebatan tidak hanya di level kabinet, tetapi juga di kalangan publik dan pengamat kebijakan.

Luhut Binsar Pandjaitan, sebelumnya mengisyaratkan kemungkinan pembatalan kenaikan tarif PPN. Namun, di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap berpegang teguh pada rencana tersebut. Ketidaksepahaman ini berujung pada langkah Prabowo Subianto yang secara langsung mengumumkan “pembatalan” kenaikan tarif PPN, sebuah keputusan yang tampaknya diambil demi meredam polemik di tengah masyarakat.

Pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Nailul Huda, menilai ketidaksinkronan dalam kabinet ini bisa berdampak buruk bagi jalannya pemerintahan.

“Ini yang tidak baik bagi pemerintahan ke depan. Maka sudah sewajarnya Menteri dengan kinerja buruk patut direshuffle,” kata Nailul.

Secara teoretis, berbagai permasalahan pemerintahan tidak bisa diselesaikan dalam hitungan hari atau bahkan bulan. Sejarah mencatat bahwa para pemimpin dunia seperti Barack Obama, Kevin Rudd, dan Margaret Thatcher pun tidak berani mengklaim bahwa permasalahan besar dapat terselesaikan hanya dalam 100 hari.

Namun, program 100 hari pertama tetap memiliki makna simbolik yang penting. Ini adalah periode krusial untuk membangun kepercayaan publik bahwa pemerintahan baru mampu menghadapi tantangan selama lima tahun ke depan. Dalam konteks Prabowo-Gibran, berbagai indikator seperti kepuasan publik terhadap kebijakan ekonomi, politik, dan pemberantasan korupsi menjadi tolok ukur keberhasilan awal pemerintahan.

Survei Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) yang dilakukan menjelang 100 hari Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan ini mencapai 51,81 persen. Survei ini melibatkan 1.189 responden di 38 provinsi dengan margin of error sebesar 2,9 persen melalui metode simple random sampling. Jika dibandingkan dengan skala penilaian 1-10, angka ini bukanlah prestasi yang membanggakan. Justru, hasil ini menegaskan bahwa masih banyak aspek yang perlu dibenahi.

Seratus hari pertama mungkin terasa singkat dalam periode pemerintahan lima tahun. Meski demikian, ini adalah waktu yang cukup untuk mengevaluasi apakah kebijakan dan kepemimpinan instansi sudah berada di jalur yang benar. Jika ditemukan ketidakefektifan dalam kebijakan atau kinerja menteri, koreksi seharusnya segera dilakukan.

Dalam konteks realisasi program Asta Cita yang menjadi visi besar Prabowo-Gibran, tantangan ke depan tidak hanya memastikan keberlanjutan kebijakan, tetapi juga menjamin keselarasan dalam kabinet. Menteri-menteri yang tidak mampu mengikuti ritme kerja presiden harus dievaluasi. Jika perlu, reshuffle kabinet menjadi langkah strategis untuk memastikan pemerintahan tetap solid dan efektif.

Apakah Prabowo akan mengambil langkah tersebut? Ataukah ia sudah merasa cukup puas dengan kinerja para pembantunya? Jawabannya akan sangat menentukan bagaimana perjalanan pemerintahan ini dalam tahun-tahun mendatang. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News