NUKILAN.id | Banda Aceh – Perempuan memiliki peran strategis dalam menjaga dan melanjutkan perdamaian di Aceh. Namun, untuk mewujudkannya, dukungan pendidikan, kebijakan, dan perubahan budaya menjadi hal yang mutlak diperlukan.
Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertema Kontribusi Perempuan dalam Penguatan dan Pembangunan Keberlanjutan Perdamaian Aceh, yang digelar di Taman Sari Bustanussalatin, Banda Aceh, Jumat (6/12/2024).
Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasio) FISIP Universitas Syiah Kuala (USK) bersama berbagai mitra di Aceh, termsuk Flower Aceh sebagai bagian dari rangkaian acara Sosiologi Fair 2024.
Diskusi menghadirkan Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, dan dosen Teknik USK sekaligus aktivis lingkungan, Ir. Suraiya Kamaruzzaman, sebagai narasumber. Diskusi dipandu oleh Firya Faiza, mahasiswa Sosiologi FISIP USK.
Riswati mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan. Ia mengatakan, perempuan yang mendapatkan akses pendidikan akan memiliki peluang lebih besar untuk berkontribusi dalam perdamaian dan pembangunan.
“Pendidikan dalam hal ini memiliki peran substansial dalam membangun kurikulum dengan menanamkan nilai-nilai perdamaian bagi bangsa untuk dikuatkan dalam implementasinya,” tuturnya.
Riswati juga mengungkapkan fakta bahwa perempuan sering menjadi target kekerasan dalam konflik. Ia mengatakan bagaimana budaya patriarki dan normalisasi kekerasan dalam keluarga turut memperparah kondisi ini.
“Perempuan kerap dijadikan alat untuk melancarkan kekerasan, seperti ketika ingin menyakiti kepala keluarga, perempuan dalam keluarga itu sering dijadikan sasaran. Hal ini harus dihentikan melalui edukasi keluarga yang menanamkan nilai-nilai toleransi dan kesetaraan sejak dini,” jelasnya.
Sementara itu, Dosen Universitas Syiah Kuala Suraiya Kamaruzzaman mengatakan selain pendidikan dan keluarga, pemerintah dan media juga memiliki tanggung jawab besar.
Dia menyebut, kebijakan yang memberdayakan perempuan harus terus digalakkan, sementara media diharapkan mampu membangun narasi positif yang mendorong masyarakat untuk mendukung perdamaian.
“Media punya kekuatan besar untuk memengaruhi cara pandang masyarakat. Jika media bisa fokus pada narasi yang membangun, ini akan memperkuat upaya perdamaian di Aceh,” imbuhnya.
Menurut Suraiya, toleransi terhadap keberagaman budaya dan suku harus menjadi bagian dari karakter generasi saat ini untuk menghindari sikap etnosentrisme.
“Jika generasi muda mampu menghargai keberagaman, maka perdamaian yang berkelanjutan bukan lagi mimpi. Mereka akan menjadi pilar yang memperkuat harmoni di Aceh,” jelasnya.
Diskusi ini merupakan bagian dari Sosiologi Fair 2024 yang mengusung tema 19 Tahun Perdamaian Aceh: Nafas Panjang Keberlanjutan Perdamaian.
Firdaus Mirza Nusuary, Pembina Himasio FISIP USK, juga mengingatkan sejarah panjang konflik di Aceh yang diakhiri dengan kesepakatan MoU Helsinki. Perjanjian ini menjadi tonggak penting dalam menciptakan stabilitas sosial, politik, dan ekonomi di Aceh.
“Meskipun perdamaian sudah diraih, tantangan untuk menjaga harmoni tetap ada. Dibutuhkan peran aktif masyarakat dan pemerintah untuk memastikan pembangunan berkelanjutan di Aceh,” ujarnya.
Dinda Balqis, Ketua Sosiologi Fair 2024, menjelaskan Sosiologi Fair yang berlangsung hingga 8 Desember 2024 ini juga menghadirkan pameran UMKM, perlombaan, dan berbagai kegiatan lainnya yang melibatkan masyarakat luas.
Kegiatan ini dirancang sebagai festival kreativitas dan intelektual. “Ini adalah momentum bagi generasi muda Aceh untuk mengingat sejarah perdamaian dan merayakan keberagaman. Kami juga melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk pelaku UMKM dan tokoh lokal,” jelasnya.
Kegiatan yang dihadiri mahasiswa, aktivis, kelompok muda dan masya umum ini menjadi bagian dari upaya bersama untuk menciptakan Aceh yang damai dan inklusif, dengan mengedepankan kolaborasi lintas sektor sebagai solusinya.
Editor: Akil