NUKILAN.id | Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 mengungkapkan bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15 hingga 24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Data ini menunjukkan bahwa anak muda yang paling banyak masuk dalam kategori NEET justru ada di daerah perkotaan, yakni sebanyak 5,2 juta orang, sementara di pedesaan mencapai 4,6 juta.
Permasalahan ini mendapatkan perhatian serius dari Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Prof. Omas Bulan Samosir, Ph.D. Menurutnya, tingginya angka pengangguran di kalangan Gen Z disebabkan oleh ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja.
“Dinamika pasar tenaga kerja berkembang lebih cepat dibandingkan dengan dinamika kapasitas input tenaga kerja,” ujarnya.
Prof. Omas menekankan bahwa lembaga pendidikan seharusnya mampu membekali pengetahuan bagi angkatan kerja, namun kenyataannya mereka sering tertinggal dalam merespons kebutuhan pasar. Kurikulum yang dirancang tidak selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan di dunia industri.
“Pengangguran berarti tidak atau berhenti berproduksi. Angkatan kerja yang menganggur saat ini akan menjadi beban jika terjadi pengangguran dalam skala besar ke depannya. Akibatnya, Indonesia Emas akan berisiko tidak tercapai jika terdapat satu generasi yang menjadi sumbat pencapaian pembangunan. Sementara itu, angkatan kerja tersebut diharapkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi untuk mencapai Indonesia Emas,” kata Prof. Omas, dilansir dari laman UI, Minggu (21/7/2024).
Cara agar Gen Z Tidak Menganggur
1. Kolaborasi
Prof. Omas menyarankan agar pihak-pihak terkait dapat berkolaborasi dan bersinergi. Di antaranya adalah institusi pendidikan dan pelatihan vokasional, tenaga kerja, dan pemerintah. Etos kerja juga harus dibangun untuk memastikan tenaga kerja siap menghadapi dinamika pasar kerja. Selain itu, institusi pendidikan perlu terus memperbarui kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan industri.
2. Perbarui Kurikulum
Seorang tenaga kerja harus proaktif dalam meningkatkan keterampilan. Di sisi lain, pemerintah harus berperan dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung dunia pendidikan, seperti memperbarui kurikulum. Prof. Omas juga menekankan pentingnya pendidikan formal yang dilengkapi dengan sertifikasi vokasional dan pelatihan tambahan. “Semakin banyak sertifikat yang dimiliki seorang pelamar kerja, semakin baik peluang mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang terus berubah,” ujarnya.
3. Memperluas Koneksi SMK dan Industri
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan bentuk formal dari pendidikan vokasi yang masih relevan untuk menghasilkan angkatan kerja yang kompeten dalam industri. Prof. Omas menambahkan bahwa dunia pendidikan harus memperluas koneksi langsung antara SMK dengan dunia industri sehingga dapat terlibat dalam membangun kurikulum SMK secara berkala.
“Industri seharusnya dapat langsung bekerja sama dengan sekolah kejuruan dalam membuat atau sebagai manufaktur spare part dari industrinya,” katanya. Ia memberi contoh industri sepeda BMW di Jerman, di mana manufaktur spare part dari sepeda BMW diserahkan kepada sekolah kejuruan dengan cara melatih siswa untuk membuatnya dan memberi gaji saat mereka memproduksi.
Namun, menurut Prof. Omas, Indonesia belum melaksanakan kerja sama seperti ini dan dunia pendidikan vokasi masih jauh dari dunia manufaktur atau industri.
Editor: Akil