NUKILAN.id | Tapaktuan – Di wilayah Kabupaten Aceh Selatan, suku Kluet masih memegang teguh tradisi adat dalam setiap tahapan pertanian mereka. Adat sawah ini mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Setiap proses pertanian, mulai dari penanaman benih hingga panen, diiringi dengan upacara adat yang khas dan sakral.
Syahrul Amin, seorang pegiat budaya dan adat Kluet, menjelaskan pentingnya tahapan adat ini dalam kehidupan masyarakat Kluet.
“Adat sawah bagi kami bukan sekadar seremonial, tetapi merupakan wujud syukur dan doa kepada Tuhan atas berkah yang diberikan. Kami berharap melalui upacara ini, hasil panen kami akan melimpah dan berkah,” ujar Syahrul kepada Nukilan.id, Jumat (19/7/2024).
Syahrul menjelaskan, tahapan pertama yang digelar adalah Kenduri Ule Lhueng atau Babah Lhueng, dilakukan saat air pertama kali dialirkan ke sawah. Prosesi ini diadakan dengan meriah di area alur sawah, dan biasanya melibatkan pemotongan hewan kerbau sebagai simbol pengorbanan.
“Kenduri Ule Lhueng adalah momen penting bagi kami. Ini adalah awal mula kehidupan di sawah, dan kami berharap air yang mengalir membawa berkah dan kesuburan,” kata Syahrul Amin.
Ketika padi sudah berumur satu hingga dua bulan, suku Kluet menggelar Kenduri Kanjipada. Berbeda dengan Kenduri Ule Lhueng, upacara ini dilakukan dengan sederhana, cukup membawa bubur ke sawah. Namun, prosesi ini tetap memiliki aturan ketat.
“Bubur yang dibawa ke sawah harus dipimpin oleh kejurun belang atau juru biyo, pemimpin yang mengurusi bidang pertanian,” jelas Syahrul.
Tradisi ini dilanjutkan dengan Kenduri Sawah saat padi mulai berisi atau membunting. Di beberapa daerah di Aceh, kenduri ini memiliki penyebutan yang berbeda. Di Aceh Besar disebut Keunduri Geuba Geuco, di Aceh Utara disebut Kenduri Adam, dan di Aceh Pidie dikenal sebagai Kenduri Dara Pade.
“Meskipun berbeda nama, esensinya tetap sama, yaitu memohon berkah dan kesuburan bagi tanaman padi kami,” ujar Syahrul.
Saat padi sudah dipotong atau dituai, diadakan Kenduri Pade Baro. Kenduri ini dilaksanakan secara sederhana oleh masing-masing petani di rumah mereka.
“Kenduri ini adalah bentuk syukur kami atas hasil panen yang telah diberikan. Ini adalah momen untuk menikmati hasil jerih payah kami selama ini,” kata Syahrul dengan senyum bahagia.
Suku Kluet yang mayoritas beragama Islam, menganggap upacara-upacara tersebut bukan sebagai persembahan untuk dewa-dewa, melainkan sebagai doa dan rasa syukur kepada Tuhan.
“Ini hanya adat, jadi sebagai bentuk penghayatan kami terhadap agama dan budaya kami. Kami percaya bahwa segala sesuatu yang kami dapatkan adalah berkah dari Allah,” tegas Syahrul. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah