Nukilan.id – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Aulianda Wafisa mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) segera memberikan hasil fasilitasi terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Jika tidak, maka raqan tersebut tak bisa disahkan menjadi qanun.
Sebelumnya, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah melakukan revisi beberapa pasal dalam qanun tersebut dalam rapat paripurna di DPRA, Rabu (28/12/2022) silam. Namun, dalam rapat paripurna di DPRA berikutnya, Jumat (30/12/2022), DPRA hanya mengesahkan lima dari 12 qanun yang diusulkan. Raqan Jinayat tidak bisa disahkan menjadi qanun lantaran masih belum mendapatkan hasil fasilitasi dari Kemendagri.
Aulianda Wafisa menegaskan revisi Qanun Jinayat ini perlu segera disahkan agar memberikan keadilan bagi korban dan menghukum pelaku. LBH Banda Aceh sendiri merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam pembahasan revisi qanun tersebut beberapa waktu lalu bersama Komisi I DPRA, Pemerintah Aceh, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Dinas Syariat Islam Aceh, dan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (SatpolPP dan WH) .
Dalam revisi qanun tersebut, kata Aulianda, hanya dua bentuk kekerasan seksual yang dimasukkan, yaitu pelecehan seksual dan perkosaan. Sementara bentuk kekerasan lainnya tidak dimasukkan karena sudah terwakili dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA). Karena itu, bagi yang melanggar bentuk-bentuk lain dari kekerasan seksual akan didakwa dengan UU TPKS dan UU PA, bukan dengan Qanun Jinayat.
“Pilihannya ada dua: mau mendakwa semua kekerasan seksual dengan UU TPKS dan UU PA dan tidak lagi menggunakan Qanun Jinayat sama sekali atau tetap menggunakan Qanun Jinayat yang sudah direvisi. Kami memilih opsi nomor dua,” ujar Aulianda Wafisa di Kantor LBH Banda Aceh, Rabu (17/7/2024).
Revisi Qanun Jinayat
Aulianda menyebutkan, ada beberapa pasal yang telah direvisi dalam raqan Jinayat. Total ada 11 perubahan pasal dan penambahan (penyisipan ayat, pasal, atau bab) satu bab, satu angka, empat pasal, dan tiga ayat.
Secara umum, kata Aulianda, terdapat empat hal besar yang direvisi dalam qanun tersebut. Pertama, bentuk-bentuk hukuman. Dalam versi awal, hukuman penjara bersifat opsional yang dapat diganti dengan cambuk atau denda. Sementara dalam versi revisi, hukuman penjara menjadi keharusan bagi pelaku yang kemudian ditambah dengan cambuk atau denda.
Kedua, soal restitusi dan pemulihan korban. Terdapat penambahan Pasal 51B di mana korban yang mengalami perkosaan berhak untuk mendapatkan hak atas pemulihan fisik dan nonfisik.
Aulianda menjelaskan, restitusi di sini dimaksudkan sebagai pengganti kerugian bagi korban dalam bentuk emas murni dengan satuan gram. Bagi pelaku pemerkosaan akan didenda paling banyak 1.750 gram emas murni. Jika pelakunya adalah mahram korban, maka dendanya paling banyak 2.000 gram emas murni. Sementara untuk pelaku pemerkosaan terhadap anak dan penyandang disabilitas didenda paling banyak 2.400 gram emas murni.
Besarnya restitusi ini, sambung Aulianda, dalam versi revisi ditentukan oleh kebutuhan korban sendiri dan mengenyampingkan keadaan pelaku. Jika pelaku tak sanggup membayar, maka akan dibebankan kepada negara. Dalam hal ini, Baitul Mal Aceh dan atau Baitul Mal kabupaten/kota akan memberikan kompensasi kepada korban atau ahli waris korban.
Ketiga, pemberatan hukuman untuk pelaku pemerkosaan jika korbannya adalah penyandang disabilitas yang diatur dalam pasal tambahan, yaitu Pasal 50A.
Terakhir terkait definisi umur anak. Dalam versi awal, definisi anak yaitu “yang telah mencapai umur dua belas tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun. Sementara dalam versi revisi diubah menjadi “yang telah mencapai umur enam belas tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun.
“Inilah yang harus kita perjuangkan. Kita mendesak Kemendagri segera memberikan hasil fasilitasi terhadap revisi Qanun Jinayat agar bisa disahkan menjadi qanun,” tutur Aulianda. []
Reporter: Sammy