NUKILAN.id | Jakarta – Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang kini diwajibkan bagi seluruh pekerja, baik Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun swasta, menuai kontroversi. TAPERA mewajibkan setoran sebesar 3% dari upah pekerja, yang akan dikelola Badan Pengelola TAPERA untuk pembiayaan perumahan bagi peserta. Namun, banyak pihak merasa keberatan dengan aturan baru ini.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyuarakan keberatannya dalam acara “Kontroversi” di Metro TV, dengan menyatakan bahwa tidak ada pekerja yang menolak kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan, yang menjadi keberatan utama adalah pemotongan upah di tengah kondisi keuangan yang sulit.
“Diskusi dari awal di sosial media, tidak ada yang menolak sandang, pangan, dan papan. Yang kami tolak adalah pemotongan upah saat kondisi keuangan sedang sulit,” ujar Iqbal, dikutip Nukilan.id pada Jumat (31/5/2024)
Iqbal menambahkan bahwa berbagai potongan terhadap upah pekerja sangat membebani mereka. Menurutnya, potongan untuk kesehatan sebesar 1%, TAPERA 2,5%, jaminan hari tua (JHT) 2%, serta tambahan PPh 21 dan pensiun sebesar 1% membuat total potongan mencapai hampir 12%. Dengan upah minimum rata-rata di Indonesia sekitar 3,5 juta rupiah, pemotongan sebesar 12% ini, menurut Iqbal, membuat pekerja kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
“Bukan mereka tidak butuh rumah, tetapi kebutuhan itu ada tingkatan prioritasnya,” tambahnya.
Senada dengan Said Iqbal, Darwoto, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), juga menyampaikan kekhawatirannya. Menurutnya, potongan 2,5% dari upah pekerja yang sebelumnya digunakan untuk konsumsi kebutuhan lainnya, kini dialihkan ke tabungan TAPERA, ditambah dengan sumbangan 0,5% dari pengusaha. Dengan total potongan menjadi 12%, Darwoto menyoroti bahwa hal ini akan mengurangi daya beli pekerja, yang perlu menjadi perhatian serius.
“Total potongan menjadi 12%. Jika ini tidak dikeluarkan, artinya kemampuan daya beli pekerja juga berkurang. Ini yang harus diperhatikan,” ungkap Darwoto.
Polemik terkait TAPERA ini menjadi perbincangan hangat di kalangan pekerja dan pengusaha. Banyak yang merasa bahwa kebijakan ini memberatkan, terutama di masa ekonomi yang belum stabil. Pihak pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan kembali implementasi kebijakan ini, agar tidak semakin membebani para pekerja yang bergantung pada upah minimum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Reporter: Akil Rahmatillah