Nukilan.id – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menetapkan lima komisioner Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslih) Provinsi Aceh untuk periode 2023-2028. Putusan Penetapan diumumkan pada sidang pleno hasil rekapitulasi nilai hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di ruang rapat Komisi I DPRA, Kamis (14/12/2023) sore.
Namun, keputusan tersebut menuai kritik keras dari berbagai pihak, terutama gerakan perempuan Aceh karena tidak ada satupun perempuan yang terpilih sebagai komisioner. Padahal dalam UU jelas tercantum penetapan ketentuan untuk komposisi keanggotaan Panwaslih pada masing-masing provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan mewajibkan ada keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati mengatakan, keputusan ini telah menutup akses perempuan untuk terlibat dalam pengawasan pemilu. Hal tersebut telah diatur dalam UU bahwa adanya keterlibatan perempuan dalam pemilu. Demikian juga diperkuat dalam Qanun Provinsi Aceh Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Qanun Provinsi Aceh Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh.
“Keputusan tersebut jelas sekali cacat hukum karena telah menghilangkan kesempatan bagi perempuan yang sudah diatur dalam UU penyelenggaraan pemilu,” ucapnya saat diwawancarai Nukilan.id, Minggu (117/12/2023).
Menurut Riswati, seharusnya Komisi I DPRA harus konsisten dengan UU yang ada. Lagipula, qanun atau kebijakan tersebut mereka sendiri yang buat dan ia berharap mereka menerapkannya. Kemudian ini juga terkait afirmasi keterlibatan perempuan, dianggap layak atau tidak layak ada penyeleksiannya.
“Yang ikut terlibat juga pastinya perempuan yang punya kapasitas tersendiri dan ia juga mengikuti tes, harusnya 30% itu memberikan memberikan alokasi tersebut,” pungkasnya [Auliana Rizky]





